Selasa, 14 Oktober 2008

Catatan Hari ini

Berhari-hari - bahkan mungkin berminggu-minggu belakangan - saya seperti melayang sangat tinggi hingga dapat menyentuh awan. Banyak peristiwa yang terjadi, khususnya selama masa liburan hingga kembali ke bangku kuliah, yang membuat saya merasa sangat bahagia dan lepas dari segala himpitan permasalahan yang bagai tak pernah ada.

Tapi memang, saat seseorang merasa tengah dalam puncak kenyamanan, cobaan seringkali datang untuk menguji keteguhan.

Saya sadar bahwa saya adalah seorang yang sangat sensitif - bahkan sebuah tes kepribadian yang pernah saya ikuti saat SMA menunjukkan hasil bahwa saya adalah seorang yang "melankolis". Beberapa orang terdekat saya sudah sangat maklum dengan hal ini, dan ini sangat saya syukuri. Karena itu, saya sempat merasa bagai "pemenang" saat mendapati diri saya berhasil melewati fase tanpa "hujan airmata" selama beberapa waktu. Sudah sangat lama saya berusaha meninggalkan predikat "cengeng" yang pernah melekat erat pada diri saya, namun tak kunjung berhasil. Bagi saya, adalah suatu langkah besar bila berhasil untuk tidak menumpahkan emosi dan tangis untuk hal-hal yang sebenarnya remeh.

Tapi akhirnya, benteng pertahanan itu runtuh juga. Setelah sekian lama, akhirnya airmata itu harus menetes lagi. Meledak lebih tepatnya. Saya tidak tahu pasti, apa memang hal itu adalah sesuatu yang pantas untuk ditangisi. Kekecewaan bercampur emosi membuncah di dada ini. Sesak...

Ketika diri kita telah diliputi emosi, semua terasa buram. Gelap.

Batin saya seketika tertawa... apa ini tanda kekalahan? Apa ini balasan karena saya terlalu congkak? Atau mungkin terlalu lalai? Ya, mungkin ini sebuah peringatan.

Berkat sahabat-sahabat, rekan-rekan, dan keluarga luar biasa yang selalu mendampingi, saya mulai mengumpulkan kesadaran dan menjernihkan kembali air yang terlanjur keruh. Langkah paling mujarab: kembali berserah pada-Nya.

Saya mencoba untuk merangkum semua masukan yang ada (dengan sedikit penyesuaian bahasa tulisan):

"Belum tentu sesuatu yang kita sukai adalah yang terbaik untuk kita. Jadi, jangan bersedih, dan coba lihat apa hal terbaik yang bersiap menanti di depan sana."

"Kita tidak pernah bisa menerka rahasia Allah. Yang bisa kita lakukan hanya menjalankan hidup ini dengan sebaik-baiknya."

So, I tried to wipe my tears, and moved on...

Dan ternyata, bersama kesulitan ada kemudahan. Seperti mendapat pencerahan, saya mendapati sebuah kenyataan baru bahwa sesungguhnya saya tidak perlu menangisi hal yang sudah saya tangisi. Wah.. rasanya benar-benar lega! Ya, akhirnya satu ujian terlewati...

Alhamdulillah...



===catatan luapan perasaan seorang anak dengan sindrom hiperbolis===

Jumat, 03 Oktober 2008

Kura-Kura yang Bermimpi Menjadi Kupu-Kupu

Dalam sebuah buletin kampus ringan yang pernah saya baca dan dari celetukan-celetukan ringan khas percakapan antar-teman, saya mendapati penggolongan unik yang membagi mahasiswa menjadi 3 tipe: kupu-kupu, kunang-kunang, dan kura-kura.

"Kupu-kupu" alias "kuliah pulang - kuliah pulang" mewakili gambaran mahasiswa yang langsung angkat kaki dari kampus setelah jam kuliah berakhir, terus terbang melesat kembali ke rumah. Ada banyak alasan yang mendasari - umumnya mereka ini berdomisili jauh dari kampus atau pelajar rumahan.

Lain lagi dengan "kunang-kunang" alis si "kuliah nangkring - kuliah nangkring" yang mudah dijumpai di pelbagai tempat, dalam pelbagai aksi dan posisi, yang pasti di luar rumah. Terwujud dalam kemasan mahasiswa-mahasiswa pecinta hiburan (baca: bukan dalam konotasi negatif) yang menikmati hidup tanpa beban. 'Hidup ini sudah sulit, jadi tak perlu dibuat rumit' - mungkin itu kalimat yang dapat dijadikan representasinya.

Nah, yang terakhir, golongan ketiga yakni si "kura-kura" alias "kuliah rapat - kuliah rapat" terdiri dari mereka yang aktivis dan organisatoris. Dari yang optimis, idealis, hingga agamis bercampur dalam berbagai kegiatan yang mengusung banyak kepentingan.

Tapi, kura-kura dan kupu-kupu yang saya maksudkan dalam judul tulisan ini bukanlah itu. Perumpamaannya dalam sesuatu yang berbeda. Kura-kura yang saya maksudkan di sini adalah gambaran pribadi seseorang yang cenderung lamban dalam bergerak dan merespon. Saya tidak memungkiri bahwa seseorang itu mungkin saja saya - tapi saya juga tidak mengiyakan bahwa itu memang saya.

*****

Alkisah, seekor kura-kura dalam tempurungnya terbangun dari tidur karena terusik hentakan kaki dari kanguru yang berlompatan dengan lincah. Ia merasa tidak nyaman, dan bergerak perlahan mencari tempat yang lebih tenang. Namun karena lamban, ia selalu kalah bersaing meraih tempat dengan hewan-hewan lainnya yang juga mencari posisi nyaman untuk bersantai. Beberapa di antara mereka bahkan mencibir dan mengolok-olok kelambanan si kura-kura. Dalam hati, kura-kura meringis pedih.

Ia menengadahkan kepalanya ke atas, mendapati kawanan burung beterbangan ke arah selatan. Seekor kupu-kupu tampak terbang mengikuti dari ketinggian yang lebih rendah. Kupu-kupu cantik itu melesat dengan anggun, dan mendarat dengan mulus di ujung kuncup bunga yang mulai merekah. Kura-kura tanpa sadar terus mengikuti setiap gerakan halus dari si kupu-kupu dengan tatapan iri. Ya, ia bermimpi menjadi seekor kupu-kupu, yang tampak begitu cantik dan memesona di matanya. Namun dengan sedih, ia segera menepis angan mustahil itu.

Hari demi hari pun berlalu. Musim telah berganti. Dan kura-kura dikejutkan oleh sebuah kabar duka.

Kupu-kupu cantik telah meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Dalam usia yang begitu singkat, dalam wujud yang tak serupawan dulu. Ia tergeletak rapuh, kondisinya begitu menyedihkan. Kura-kura begitu terpukul. Ia tak pernah menyadari sebelumnya, bahwa segala kelebihan duniawi tak bersifat abadi.

Bahwa perjalanan waktu seringkali membawa kita menyadari bahwa kita ada di titik yang berseberangan memang benar adanya. Kupu-kupu memang cantik, tapi sebenarnya ia begitu ringkih dan rentan terhadap segala gangguan. Ia begitu bebas dan tak terikat - dan ini justru mudah membuatnya terombang-ambing dalam angin kencang. Sebaliknya, kura-kura yang lamban punya banyak waktu untuk berlindung dalam tempurung yang dengan setia selalu dibawanya walau memberatkan fisiknya dan membuat gerakannya melambat. Ia mendapatkan keamanan, justru dari keterikatannya dengan 'rumah' itu.

Dalam pikirnya, kura-kura telah memantapkan hati.

Ia tak lagi bermimpi menjadi seekor kupu-kupu...

Jumat, 01 Agustus 2008

Tawa dan Airmata

Saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri: kenapa tawa dan airmata seringkali datang beriringan?

Katakanlah, dalam sehari, seseorang mendapati dirinya diliputi kebahagiaan luar biasa yang membuatnya tersenyum sepanjang hari, kemudian tiba-tiba dengan mudahnya sebuah perkara membuat ia meledakkan tangis berkepanjangan.

Sungguh, emosi dalam diri seseorang bekerja dengan sangat baik dalam merespon segala rangsangan suasana, bahkan pada perubahan kondisi yang sangat bertolak belakang. Sistem ini terus berjalan dalam tubuh kita, tanpa kita sadari.

Ah, kenapa malah membahas hal ini, ya?

Selasa, 29 Juli 2008

Sibuk?

"Yang penting bukanlah seberapa sibuk diri anda, melainkan untuk apa anda sibuk."

*****

Suatu kali, saya dikejutkan oleh sapaan dari salah seorang teman.
"Sibuk amat sih, mbak. Tiap hari ke kampus mulu. Padahal lagi libur gini,"komentarnya. Dan ia bukan orang pertama yang berpendapat seperti ini.

Saya menanggapi dengan tersenyum, dan berusaha menepis anggapannya secara halus. Sungguh, tanpa maksud sok merendah. Di sekitar saya masih jauh lebih banyak orang yang disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang luar biasa (menurut pandangan saya), membuat hal-hal yang tengah atau telah saya lakukan tampak tidak ada apa-apanya. Mereka-mereka inilah yang selalu membuat saya terkagum-kagum, seperti tidak pernah kehabisan energi untuk beraktivitas. Tentunya, kegiatan yang mereka lakukan bersifat positif, tidak sekedar hura-hura dan menghambur-hamburkan uang.

Entah darimana datangnya semangat sebesar itu.

Jujur, saya senang terlibat dalam berbagai acara, bahkan hampir semua seksi di kepanitiaan pernah saya rasakan. Tapi, semuanya terbatas pada lingkup yang kecil. Kalaupun berskala besar, biasanya peran saya tak lebih dari anggota seksi yang hanya menunggu aba-aba dari si penanggung jawab. Semuanya nyaris tanpa beban berarti. Jika kemudian saya tampak seakan sibuk mengurus ini itu, kenyataan sungguh tak seberat yang terlihat.

Saya bukan mengeluhkan keadaan saya saat ini. Sungguh.

Tiba-tiba saja hal ini muncul di benak saya saat menatap layar monitor, dan dengan lancar semuanya mengalir keluar bersama tombol-tombol keyboard yang diketik.

Ingin sekali saya mendapati diri saya bergabung bersama mereka yang terus berjuang untuk berkembang, sibuk karena mengejar sesuatu yang esensial. Tapi siapkah saya meninggalkan zona nyaman yang saya, menyambut sesuatu yang masih abstrak di luar sana?

Ada pepatah yang mengatakan, "manusia sebesar apa yang ia pikirkan". Mungkin ini benar adanya. Ketika seseorang meyakini bahwa ia bisa, bukan suatu kemustahilan ia bisa melakukan suatu hal. Namun, keyakinan ini sepertinya belum berakar dalam diri saya. Tidak untuk saat ini. Masih ada keraguan untuk meraih hal yang lebih besar. Saya masih senang disibukkan dengan hal-hal kecil, belum sanggup melepas kenyamanan itu untuk sesuatu yang lebih rumit, lebih sulit, sekaligus lebih besar.

Saya akan mencoba untuk melangkah perlahan. Ya, lambat tapi pasti. Bukankah lebih baik dari tak bergeming?

Minggu, 27 Juli 2008

Iri

"Tak jarang, rasa iri tak sekedar menghampiri. Ia menyelimuti, merasuki, dan menjalar ke relung hati. Menuai luka, menodai kebeningan sukma insani. Laksana simfoni yang mengalun getir di sela keheningan sunyi."

*****

Setiap orang pasti pernah dihinggapi perasaan iri dalam kalbunya. Ada saat dimana pepatah "rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput di halaman rumah sendiri" sejalan dengan pikiran kita ketika melihat apa yang dimiliki oleh orang lain. Suatu waktu, saya mendapati diri saya terperangkap dalam paradigma "ketidakmampuan". Melihat orang lain bersinar dalam karya, saya justru tidak kuasa menangkis kilaunya yang menusuk mata. Ketika orang lain tampil dengan potensinya yang luar biasa, saya hanya berdecak kagum. Dengan rasa iri diam-diam muncul di benak saya, bersama-sama dengan "sahabat karib"-nya, rasa rendah diri.

Sejak kecil, kita sering diajarkan bahwa rasa "iri" bukanlah hal yang baik untuk dipelihara. Tapi entah bagaimana, ia dapat dengan mudah datang menghantui, terutama saat orang-orang di sekeliling kita seakan berada di atas awan. Ia menjadi sesuatu yang dimaklumi, sesuatu yang manusiawi. Tidak ada batas pasti yang dapat ditentukan untuk sejauh mana ia dapat terus melekat, dan dimana ia harus lekas ditepis.

Dalam kondisi terombang-ambing dalam perasaan gamang, biasanya saya teringat sebuah kalimat pamungkas bagi sebagian orang: "Saat kau merasa menjadi yang paling lemah, lihatlah ke bawah; namun saat kau merasa menjadi yang terhebat, lihatlah ke atas."

Bukan tidak mungkin, ada hal-hal di diri kita yang juga menimbulkan rasa iri bagi orang lain. Saat kita merasa lebih "rendah" dari seseorang, bisa jadi seseorang yang lain memposisikan diri kita lebih "tinggi" dari dirinya. Karena itu, kita perlu bersyukur atas apa yang selama ini telah kita miliki. Walaupun demikian, kita perlu memandang ke "atas", agar kita tidak berjalan di tempat. Ia ada sebagai motivasi, memacu kita untuk berusaha menjadi lebih baik, bukan sekedar pajangan yang dipamerkan untuk menimbulkan kecemburuan.

Bicara memang mudah, dan menulis memang tidak sulit. Tapi mengapa susah sekali untuk dijalankan, ya?


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Entah...

"Aku lelah bertarung dengan kepenatan ini
aku lelah hadapi padat dunia ini

aku ingin kesunyian
aku rindu ketenangan

biarkan kunikmati kebebasan
biarkan kureguk kebahagiaan

kuimpikan sebuah kedamaian
sungguh, yang kumau hanya itu

tidakkah kau mempercayaiku?
andai ku bisa meyakinkanmu

kumohon, beri aku satu waktu"
.
.
Terlalu muluk-kah?


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Celoteh Anak

Sepertinya judul di atas mengingatkan pada sebuah acara kuis yang pernah diputar di salah satu stasiun TV swasta di Indonesia, ya?

Tak heran, karena tulisan saya kali ini akan berkaitan dengan dunia anak - terinspirasi dari sebuah postingan di bulletin board berisi rentetan pertanyaan-pertanyaan lugu yang dikemukakan oleh bocah berusia 5 tahun.

Melihat daftar pertanyaan tersebut, tanpa sadar saya terpancing untuk tersenyum. Bukan tanpa alasan, melainkan karena beberapa pertanyaan yang dituliskan mungkin cukup akrab di telinga para orangtua atau teman-teman kita yang memiliki adik kecil. Saya sendiri sebenarnya tidak memiliki adik yang masih kecil - saudara kandung saya hanya seorang, dan usianya terpaut tak sampai 2 tahun di bawah usia saya.

Sumber dari celotehan-celotehan polos khas anak-anak yang sering saya dengar adalah sepupu-sepupu saya yang masih tergolong balita. Satu yang paling menggemaskan adalah putra bungsu dari tante saya, yang biasa dipanggil Abi. Si Abi ini badannya tergolong kecil dan sama sekali tidak gemuk, berbeda sekali dengan kakaknya yang bertubuh tambun. Dengan postur tubuhnya yang mungil, ia dapat dengan leluasa bergerak ke sana kemari dengan lincah tanpa beban. Dia tidak segan-segan menantang orang untuk melawannya (gaya sok berantem ala anak kecil). Tak hanya itu, tingkat keusilan dan keisengannya juga tinggi. Ibu saya - yang memang cukup sering mampir ke rumahnya, seringkali kewalahan melihatnya "beraksi".

Suatu kali, ibu saya memergoki ulah kenakalan si cabe rawit yang satu ini, dan berusaha memperingatkannya. Karena kesal, (saya lupa kalimat pasti apa yang diucapkan oleh ibu saya yang membuatnya kesal), ia memasang mimik wajah dengan dahi berkerut dan berseru, "Heee... Buba! Abi potong lho pantatnya, bial ga bica kentut!!" *Kalimat ancamannya sama sekali tidak menakutkan, bahkan membuat saya dan ibu saya cekikikan untuk beberapa saat. Er.. sebenarnya, kalimat ini menunjukkan bahwa ia sudah dapat berpikir dengan sistematis, bahwa bila tidak ada "sesuatu", maka seseorang tidak dapat melakukan "perilaku tertentu". Masalahnya, kenapa yang dia ambil adalah logika buang angin?

Saya jadi ingat sebuah percakapan melalui telepon sekitar pertengahan tahun lalu, yang dilakukan antara saya dan Abi sehari sebelum pelaksanaan UN. Saat itu, tante saya menelepon untuk memberikan semangat, berbicara bergantian dengan kedua anaknya. Hingga tibalah giliran Abi untuk bersuara.

Abi : "Alow... mbak Iya, ya?"
Saya : "Iya, Abi..."Abi : "Celamat ujian ya..."
Saya : "Wah, terima kasih ya..."
Abi : "Cemoga behacil..."
Saya : "Iya, iya, terima kasih ya, Abi..."
Abi : "Celamat ulang taun..."
Saya : "Lho??"

Sepertinya, ia mengira semua ucapan "selamat" ini bermakna sama. Jadilah, ucapan selamat ujian kali itu diiringi dengan ucapan selamat ulang tahun. Yah, namanya juga anak-anak... ^^


>>Terjemahan:* Heee... Bunda! Abi potong lho pantatnya, biar ga bisa kentut!!

============================================================

NB: Manusia memang tidak pernah tahu skenario kehidupan seperti apa yang menanti di babak berikutnya. Karena itu, lakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan. Kepada dua orang teman yang baru saja kehilangan, tetap sabar dan semangat! Insya Allah, doa tulus dari kalian bisa sampai untuk orangtua terkasih "di sana"...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Di Balik Musical 2008

=============== ===============
<<Meet Us in Sex Education at Lapas>>




Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa orang rekan sekampus mendapat kesempatan yang cukup langka (menurut saya, karena hal ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya), yakni berkunjung ke sebuah Rumah Tahanan di bilangan Pondok Bambu. Kami -atas nama departemen Pengabdian Masyarakat- bermaksud mengadakan semacam acara penyuluhan kesehatan (dengan tema saat itu kesehatan reproduksi) di sana.

Ketika pertama kali datang ke sana untuk mengurus perizinan, yang terbayang di pikiran saya adalah sebuah tempat yang gelap, suram, dan terdiri dari bilik-bilik sel yang berjejer. Apalagi, saat kami sampai, kami langsung "disambut" dengan sebuah gerbang/tembok pembatas yang tinggi. Hanya ada semacam loket kecil yang berfungsi sebagai tempat penghubung dengan "dunia luar". Karena ada sedikit kesalahan, kami tidak berhasil masuk kali itu. Hal ini menambah keyakinan saya, bahwa yang tersembunyi di balik sana pastilah sesuatu yang "istimewa". Jika banyak orang yang mengatakan keluar dari penjara itu sulit, saya akan mengatakan untuk "sekedar masuk"-nya pun tidak mudah.

Karena saya tidak terlibat dalam seksi yang mengurus perizinan secara langsung, akhirnya saya tidak ikut pada survei berikutnya. Baru pada H-1 pelaksanaan acara, saya berkesempatan untuk turut serta dalam persiapan.

Untuk dapat masuk ke dalam, saya dan teman-teman harus meninggalkan kartu identitas sebagai jaminan, dan sebagai gantinya kami mendapat "kartu tamu" sebagai penanda. Tak lupa, seorang penjaga telah bersiap dan men-cap tangan kami dengan cap khusus. Sekilas, kami teringat dengan cap yang diberikan untuk masuk ke Dufan dan tempat rekreasi sejenis. Rasanya seperti akan memasuki sebuah wahana.

Ketika gerbang kedua dibuka, alangkah terkejutnya saya mendapati suasana Rutan yang tidak terduga. Rutan ini lebih seperti sebuah asrama sekolah daripada lingkungan penjara dalam benak saya. Beberapa orang penghuni bahkan tampak tengah berolahraga dengan semangat. Mereka tampak cukup sehat dan terawat. Tidak ada kesan "wajah-wajah bengis dan mengancam". Mungkin karena penghuninya terdiri dari anak-anak, remaja, dan wanita, jadi kesan yang didapat seperti itu. Entahlah.

Tapi tiba-tiba saya tersadar. Walau bagaimanapun, para penghuni Rutan ini pada dasarnya sama seperti kita. Mereka hanya manusia biasa, yang sewaktu-waktu dapat khilaf dan melakukan kesalahan. Dan sayangnya kesalahan yang mereka lakukan ini terbilang cukup fatal, sehingga mengharuskan mereka tidak dapat menghirup udara kebebasan di luar sana untuk sementara waktu sebagai akibatnya. Tak ada yang benar-benar tahu, apa alasan yang mendasari itu terjadi. Bisa jadi, ada sebuah keterpaksaan yang mendalanginya.

Mau tidak mau, saya jadi setengah geli mengingat bahwa saya pernah membayangkan suasana penjara yang seperti di film-film action, dimana jelas terdapat karakter "putih" dan "hitam". Menurut saya, pada kenyataannya, tidak ada batas yang jelas antara keduanya. Yang ada adalah zona "abu-abu". Saya yakin, tidak ada orang yang benar-benar "jahat". Pasti, walau hanya setitik, ia masih punya hati nurani. Jika tidak, yah mungkin dia memang agak "lain" - penderita gangguan kejiwaan, mungkin?

Ah, dunia ini memang dipenuhi hal-hal yang unik!


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Dalam Khayalan

"Mungkin aku hanya me-reka
sebab ia adalah maya
pun saat ku ditelan asa
ia takkan menjadi nyata"


...pada sebuah perjalanan di tengah hiruk-pikuk manusia...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Di Sela Derai Airmata

"Ia telah berjanji untuk berubah.
Bukan padaku, padamu, atau pun mereka.
Itu janji terhadap dirinya sendiri.
Yang akan terus diperjuangkan hingga tenaganya tak tersisa.
Nyatanya, ia tetap mengingkari.
Bukan kesengajaan, melainkan ketidakberdayaaan.
Apakah ia memang terlalu lemah?
Atau janji itu memang melampaui batas kemampuannya?
Ah, andaikan ada yang dapat menjawab tanya ini untuknya."

..... pada sebuah malam, antara sebuah perenungan dan alam bawah sadar.....


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

The Opened Door

"Ketika kau yakin, pintu itu akan terbuka. Namun bila kebimbangan menyelimutimu, kunci itu tak akan pernah menemukan kombinasi yang sesuai. Maka, yakinlah, dan rahasia di baliknya akan menyambutmu."

Salah seorang sahabat saya baru saja mendapatkan kabar bahagia (yang tentunya membuatnya tak henti bersyukur dan menyunggingkan senyum kepuasan) yang turut membuat saya terhanyut suasana kegembiraan. Setelah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya perjuangannya selama ini terbayarkan. Berkali-kali kegagalan terus membayanginya (beberapa waktu sempat membuatnya nyaris putus asa) namun akhirnya ia terus maju dan berhasil memetik buah kemenangannya. Ah, tentu buah yang ranum itu akan terasa manis sekali di lidah.

Saya masih mengingat dengan jelas, masa-masa ketika kami saling menyemangati satu sama lain ketika yang lain tengah dirundung masalah. Saat itu, ada sebuah pepatah yang dipegang oleh sahabat saya yang satu ini:"When one door of happiness closes, another opens."

Saya sependapat untuk hal yang satu ini,tapi dengan sedikit modifikasi ala saya tentunya. Pintu itu TIDAK benar-benar terbuka, melainkan BISA dibuka. Artinya?

Pintu kebahagiaan itu terkunci, dan dia membutuhkan sebuah kunci untuk membukanya. Mau tidak mau, saya sedikit merasa tergelitik untuk mengingat analogi lock & key yang sering saya dengar mengenai kompleks enzim & substrat. Ketika substrat itu menempel dengan kombinasi yang sempurna dengan enzim pasangannya, maka enzim itu akan bekerja sesuai dengan peruntukannya. Jika tidak? Enzim akan tetap menjadi enzim, dan substrat hanya sekedar ligand tak bertuan. Tak ada zat yang terurai, dan tak ada yang terbentuk.

Satu lagi kutipan - yang disampaikan oleh Hellen Keller- berhubungan dengan hal ini:”Jika satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka.Seringkali kita terlalu terpaku pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu yang terbuka.”Kita tidak akan pernah tahu mana pintu yang sesuai dengan kunci yang kita miliki sebelum kita benar-benar mencobanya untuk semua pintu. Namun, terkadang kita terlalu lama mencobanya di pintu pertama atau kedua - di saat baterai energi kita masih terisi penuh. Kita terus memaksa, dan akhirnya malah menyakiti diri kita sendiri.Ada lagi masa dimana kepercayaan tak lagi ada dalam diri kita. Kita terlalu ragu untuk mencoba. Terlalu takut untuk kembali gagal. Dan, pintu itu tak akan pernah terbuka.

Sabar dan Semangat.

Dua kunci kesuksesan yang tidak boleh terkikis untuk berhasil membuka pintu itu.

Tapi apakah kita cukup kuat untuk mempertahankannya?

Sudahkah pintumu terbuka?
Atau bahkan kau belum berhasil menemukan yang mana pintumu? Selamat mencari! ^-^


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Tahu

Tahu. T-A-H-U. Tahukah anda kata "tahu" dalam tulisan ini merujuk pada makna "tahu" yang mana? ^_^

Dalam tulisan iseng kali ini, saya akan sedikit membahas tentang "tahu" yang merupakan makanan berbentuk kubus yang dapat diolah dengan berbagai cara: goreng, rebus, bacem, digerus sampai hancur, digejrot, dsb. Ya, "tahu" yang satu ini adalah salah anggota jajanan gorengan yang amat lumrah ditemui di berbagai tempat penjualan makanan, mulai dari abang-abang di deretan kaki lima hingga di restoran yang terbilang elit. Boleh dibilang, tahu ini adalah primadona rakyat, mulai dari kaum pecinta protein-nabati (baca: harga daging terlalu mahal untuk mereka) sampai pecinta kuliner berkantong tebal yang menyantap makanan olahan bercitarasa "tinggi".

Berbicara mengenai makanan selalu mengundang selera makan saya. Tidak terkecuali pada topik mengenai "derivat" kacang kedelai yang satu ini. Siapa sangka, keluarga kacang kedelai bisa menghasilkan berbagai variasi menu. Sebut saja tahu, tempe, dan oncom, trio kedelai yang popularitasnya di Indonesia mungkin menggeser posisi semua trio-trio ngetop lainnya. Saat harga daging semakin mahal dan marak isu penjualan daging basi atau kerbau, saat harga telur menggelinding naik dan alternatif penjualan telur-retak-atau-pecah mulai dilirik kaum ibu... si "tahu" ini tetap setia ditemui di warung-warung makan dengan harga bersahabat. Walau isu formalin dan kenaikan harga sempat menerpa, nyatanya ia tetap tak bergeming.

Tapi...

Sebuah tayangan di televisi membuat saya terenyuh. Digambarkannya kehidupan seorang ibu usia lanjut yang telah lama bergelut menjadi pembuat tahu dan oncom. Setiap hari, ia berusaha keras untuk mengolah adonan kedelai tanpa mesin (yah, nyatanya di era serba canggih seperti saat ini pun masih banyak orang-orang yang menggunakan tenaga manual karena berbagai keterbatasan). Dengan tubuh sekurus dan setua itu, salut ia tetap menjalankan rutinitas hariannya yang begitu melelahkan, dan selalu bangun pagi-pagi buta. Dengan sabar, setiap harinya ia membawa hasil olahannya - tahu dan oncom untuk dijajakan di pasar tradisional terbuka, dengan harga 200 rupiah per-potong (saya tidak terlalu ingat apa ini harga untuk tahu atau oncom, yang jelas keduanya tidak jauh berbeda). Berarti, harus berapa banyak yang terjual untuk menutupi biaya hidup sehari-hari? Tentunya ada hari-hari dimana dagangannya tidak habis terjual, dan dia harus menahan rasa lapar lebih lama karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan (baca: ingat, makanan pokok penduduk Indonesia = nasi).

Jika salah seorang teman saya sering mengungkapkan penghargaan kepada emping secara berlebihan karena proses pembuatannya yang menjadikan setiap bagiannya tidak terlepas dari tangan-tangan penumbuknya (dan dulu sering jadi bahan tertawaan), kini saya jadi sedikit lebih bisa memaklumi. Tahu, emping, dan makanan olahan lainnya memang makanan yang ringan di mulut. Tapi jelas, proses pengolahannya bisa jadi tidak seringan kelihatannya.

Jadi, mulailah dengan menghargai makanan yang ada di depanmu! ^_^


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Sebuah Kisah

Sebuah fiksi di kala kepenatan melanda.... just enjoy it...

*****

PART 1 - Gadis Kecil Bermata Bulat.

Hari ini gadis kecil itu datang lagi. Masih dengan baju biru langit favoritnya, dengan sunggingan senyum malu-malu. Matanya yang bulat memancarkan rasa ingin tahu yang sangat besar.

"Mencari siapa?"tanyaku, dengan usaha membuat suaraku lebih ramah dari biasanya. Bukan sekedar basa-basi, tapi murni karena penasaran. Dua hari sudah makhluk mungil berambut ikal ini tampak di depan pagar rumahku, membuatku heran dengan tindakannya yang tak bergeming cukup lama. Seingatku, di sekitar rumah tidak ada tetangga yang memiliki anak seusianya. Dia tampak tak lebih tua dari 6 tahun, dan garis-garis keluguan bocah cilik masih tergurat jelas di wajahnya.

Dia tersenyum. Untuk kesekian kalinya. Tanpa sebuah jawaban. Bahkan sekedar gumaman pun tak kunjung keluar dari bibir mungilnya. Sekilas aku merasa melihat kilat keceriaan di bola mata beningnya. Mungkin hanya prasangka, karena sesungguhnya aku tak bisa menatap dengan jelas dari balik pagar.

Saat kuputuskan untuk membuka pagar, ia tampak terkejut dan segera mengambil langkah. Berlari pergi, dan dengan cepat menghilang di persimpangan jalan. Entah mengapa, aku ingin menahannya. Rasa sesal yang membingungkan menjalar di benakku. Menatap wajah manis itu menjadi sebuah kerinduan yang tak terbayangkan. Harusnya aku tidak bertanya padanya. Tidak lagi. Mungkin dengan membiarkannya berdiam diri akan membuatnya bertahan lebih lama.

Ah, rasanya aku jadi terlalu sentimentil. Kukira hidup sendiri untuk waktu yang telah cukup lama membuatku menjadi lebih kuat dan tak butuh orang lain. Nyatanya, seringkali rasa sepi melandaku. Ada secercah rasa bahagia melihat ada seseorang di dekatku, bahkan jika ia adalah seorang anak kecil tak dikenal dan tak jelas asal-usulnya. Tapi benarkah?

Aku merasa gadis kecil ini istimewa. Menenangkan sekaligus menyayat hati. Mengingatkanku pada kenangan masa lalu yang begitu jauh dari kenyataan kini.


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Semangat!!!

Akhirnya... nilai ujian sumatif I modul biomol keluar juga. Lega memang, tapi tidak memuaskan. Yah, lulus dengan pas-pasan tentunya beda dengan lulus dengan nilai gemilang. Tapi tak jadi masalah, jika untuk yang berikutnya kita bisa "fight for the best"!!!
Berarti, selama ini saya masih kurang kurang belajar. Masih terlalu banyak santai daripada serius. Semoga ujian berikutnya bisa lebih sukses!!! (amien...)

Tapi di luar hal2 yang menyangkut akademis, ada banyak hal yang sangat menyenangkan terjadi. Yah, mungkin ini yang namanya keseimbangan dalam hidup, ya? Ada kalanya sedih menerpa, dan berikutnya terhapus dengan tawa bahagia.

Keep ur spirit!!!
Semangka!!! (semangat kawan...)

nb: jadi teringat jargon baru Pengmas 2008: "hati peduli, aksi berarti"... semoga benar-benar bisa memberikan sesuatu yang berarti...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Hidup

Entah kenapa, beberapa waktu belakangan ini saya terus mendengar kabar duka cita mengenai orang-orang terkasih yang meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Jujur, tidak satupun dari mereka pernah saya kenal secara langsung. Bahkan, beberapa diantaranya baru saya sadari keberadaannya setelah berita tentang kepergiannya datang dengan tiba-tiba. Apakah dulu saya tidak peka dengan lingkungan saya, atau memang kematian datang lebih sering pada orang-orang di lingkungan sekitar saya? Entahlah.

Saya baru sadar, cepat atau lambat, kematian akan menjemput semua orang di dunia ini. Dan peluang untuk menyaksikannya dengan mata kepala sendiri secara langsung semakin besar seiring dengan berjalannya waktu. Mengingat profesi impian yang membuat saya harus bergelut dengan buku-buku tebal dan penuh dengan kata-kata ajaib ini akan berkaitan erat dengan hal itu. Saya jadi teringat cerita dari salah seorang senior di kampus tentang pengalamannya jaga di rumah sakit, dan untuk pertama kalinya menyaksikan secara langsung pasien yang dirawatnya tak lagi bernyawa. Ada rasa pedih di hatinya karena tidak dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pasien itu. Tapi, masih tersisa rasa syukur, karena ia telah berusaha membantu di waktu-waktu terakhir kehidupan si pasien, dengan terus berada di sampingnya, menemani dengan lantunan doa dan ayat-ayat suci. Ia melakukan hal itu, justru ketika tidak ada satupun keluarga yang menemani pasien menjelang ajalnya.

Ada pula pengalaman miris ketika pasien yang ditangani oleh seorang senior adalah orang terkasih dari salah satu temannya. Bayangkan bagaimana perasaannya ketika ia harus menghadapi kenyataan bahwa pasien -yang notabene merupakan keluarga tercinta temannya- ternyata meregang nyawa di depan kedua matanya. Bahkan usaha terbaik yang telah dilakukannya pun tak sanggup melawan kematian yang menjemput.

Sejak kecil, saya selalu merasa profesi impian saya itu hebat. Membuat orang yang sakit jadi sembuh, memberikan keceriaan bagi banyak orang. Kenyataannya, bagaimanapun, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, dan semuanya kembali lagi kepada putusan Tuhan Yang Maha Esa. Akan ada satu titik dimana kita merasa tak berdaya, dan hanya bisa berserah kepada-Nya. Bahkan, ketika sosok yang kita perjuangkan adalah orang terkasih bagi diri kita sendiri.

Karena itu, saya akan terus belajar. Minimal, kita harus mengerahkan yang terbaik yang kita miliki, agar penyesalan tidak akan datang berkelanjutan.
Semoga niat baik senantiasa berujung pada kebaikan...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Book of Life

Hidup ibarat sebuah buku.
Setiap halaman kosongnya menanti untuk diisi.
Pena ibarat pikiran liar yang tak berhenti berpacu.
Ia memberi tulisan atau sekedar goresan tak berarti.
Katakanlah setiap carik merupakan wadah untuk menyimpan memori.
Ruang-ruang yang masih putih tak bernoda menunggu untuk disapu tinta.
Setiap percik emosi dan perasaan membawa warnanya sendiri.
Merah membara menyertai amarah.
Abu-abu membelenggu minggu kelabu.
Demikian adanya.
Setiap darinya membawa konsekuensi.
Membawa menuju perjalanan yang berbeda.
Akhir yang bersimpangan.
Walau bagaimanapun
Putih yang ternoda, tak kan pernah kembali suci.
Mengapa?
Karena sebuah penghapus hanya dapat mengikis
Bukan untuk mengembalikan kesempurnaan masa lalu.
Pun sebuah kertas yang terkoyak.
Perekat dapat menyambungnya kembali.
Namun tak akan membuatnya menjadi utuh terpadu.


=/=/=Jakarta, 4 Maret 2008=/=/=


(Hati-hati dalam mengisi buku kehidupan, ya...)


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Syukur

Kata ini bukan sekedar judul lagu, melainkan sebuah ungkapan perasaan hati yang tengah meluap diliputi kebahagiaan. Setelah sekian minggu berkutat dengan modul Sel & Genetika, akhirnya saya bisa lega karena berhasil menyelesaikannya tanpa perlu ujian perbaikan. (baca: LULUS!!!)

Tapi.. apakah rasa syukur hanya muncul ketika manusia sukses meraih apa yang diharapkannya?
hmm...

Ironis ya, kalau dipikir2.
Berapa kali kita mengungkapkan rasa syukur kita pada Sang Khalik?
Atas nikmat penglihatan
Atas nikmat pendengaran
Atas nikmat untuk merasakan semua hal yang ada di sekitar kita
Mudah2an, kita TIDAK menjadi orang-orang yang ingat dan berusaha dekat dengan-Nya HANYA dalam kesulitan, atau dalam situasi tertentu.


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Waktu

"Andaikan waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikianlah, dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya..." (14 April 1905)

"Di dunia ini ada dua jenis waktu. Waktu mekanis dan waktu tubuh. Waktu yang pertama kaku, laksana pendulum besi raksasa yang berayun maju-mundur. Waktu yang kedua bergeliang-geliut seperti ikan cucut di teluk. Waktu yang pertama tak dapat ditolak, telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua mengambil keputusan sekehendak hati..." (24 April 1905)

"Bayangkan dunia tanpa waktu. Hanya bayang-bayang..." (15 Mei 1905)

"Andaikan waktu adalah soal kualitas dan bukan kuantitas, seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan menyisiri garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tak bisa diukur..." (10 Juni 1905)

Di dunia ini, waktu adalah dimensi yang terlihat. Seperti halnya orang bisa menatap rumah-rumah, pohon-pohon, dan puncak gunung di kejauhan sebagai pertanda adanya dimensi ruang. Hal serupa terjadi ketika orang menatap ke arah yang berlawanan dan tampaklah kelahiran-kelahiran, pernikahan-pernikahan, kematian-kematian sebagai pertanda adanya dimensi wakt, merentang suram di masa depan yang jauh. Dan, seperti halnya orang bisa berpindah tempat, orang bisa juga memilih gerak pada poros waktu. Beberapa orang merasa takut meninggalkan saat-saat yang membahagiakan. Mereka memilih berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian. Yang lain berpacu menuju masa depan tanpa persiapan, memasuki perubahan yang cepat dari peristiwa-peristiwa yang melintas..." (15 Juni 1905)

"Di dunia ini, waktu adalah gejala lokal. Dua buah jam berdetak bersama dengan kecepatan yang hampir sama. Tetapi, jam-jam yang dipisahkan oleh jarak berdetak dengan kecepatan yang berbeda, semakin jauh semakin berbeda. Apa yang dipandang benar untuk jam, dipandang benar pula untuk detak jantung, tarikan dan hembusan napas, gerak angin di atas alang-alang. Di dunia ini, waktu mengalir dengan kecepatan yang berbeda-beda di masing-masing tempat..." (20 Juni 1905)


...=dikutip dari Mimpi-Mimpi Einstein, sebuah buku yang dibeli secara tidak sengaja di sebuah pameran, sekitar 4 tahun silam=...

*****
Setidaknya.. saya menganggap waktu sebagai sesuatu yang berharga. Kita dapat melakukan banyak hal, selagi masih ada waktu. Tapi... berapa banyak-kah waktu yang masih tersisa untuk kita?
*****

nb: deadline tugas konseling genetik dikumpulin besok, dan saya belum menyelesaikan pedigree keluarga..!! hahaha... dasar manusia... berpacu bila deadline ada di depan mata...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

The Beginning...

Akhirnya -setelah berkali-kali melompat sana-sini membaca blog banyak orang dan berpikir dalam hati apa sebenarnya manfaat yang bisa didapat dari sebuah blog- saya memutuskan untuk membuat blog sendiri. Justru ketika tugas2 kuliah sedang menumpuk, ujian sudah makin merapat, dan berbagai kesibukan mulai berdatangan.

Yah, namanya juga manusia. Saat jenuh, ia akan mencari pelarian. Anggap saja blog ini menjadi salah satu alternatif untuk mengungkapkan gejolak emosi yang kini dirasakan. Daripada meledak karena terlalu lama dipendam, lebih baik berkarya dalam tulisan. Siapa tahu nantinya bisa bermanfaat.

Saya jadi teringat semacam pepatah: "Jika kamu tidak bisa menjadikan lidah sebagai senjatamu, maka jadikanlah pena sebagai pedangmu".

Mungkin sudah bukan masanya lagi menulis di secarik kertas. Atau sibuk menulisi diary secara sembunyi-sembunyi. Sekarang.. internet semakin mudah diakses dan lebih praktis. Tapi.. apakah ini benar suatu kemajuan, atau justru kemunduran? Entahlah... Dipikirkan justru jadi memusingkan. Yang jelas, saya siap menjadi bagian dari barisan yang akan bersorak dengan semangat: "Selamat datang teknologi!"


...diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Sebuah Awal

Tanpa sadar, keisengan di kala senggang membawa "penjelajahan maya" saya malam ini memasuki gerbang pendaftaran sebuah blog. Tidak perlu berlama-lama, tiba-tiba saja saya mendapati sebuah blog telah siap untuk diutak-utik di hadapan saya.

Entah kemana arah blog ini akan dibawa. Setidaknya apa yang akan saya tulisan di postingan-postingan berikutnya mungkin hanya sekedar pelepas kepenatan atau bahkan sebagai pengisi waktu luang yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Beberapa mungkin merupakan postingan saya yang "pindah rumah" dari blog sebelumnya.

Jadi, selamat menikmati bagi yang berminat untuk membaca, dan selamat jalan bagi yang hanya mampir!!^-^