Selasa, 14 Oktober 2008

Catatan Hari ini

Berhari-hari - bahkan mungkin berminggu-minggu belakangan - saya seperti melayang sangat tinggi hingga dapat menyentuh awan. Banyak peristiwa yang terjadi, khususnya selama masa liburan hingga kembali ke bangku kuliah, yang membuat saya merasa sangat bahagia dan lepas dari segala himpitan permasalahan yang bagai tak pernah ada.

Tapi memang, saat seseorang merasa tengah dalam puncak kenyamanan, cobaan seringkali datang untuk menguji keteguhan.

Saya sadar bahwa saya adalah seorang yang sangat sensitif - bahkan sebuah tes kepribadian yang pernah saya ikuti saat SMA menunjukkan hasil bahwa saya adalah seorang yang "melankolis". Beberapa orang terdekat saya sudah sangat maklum dengan hal ini, dan ini sangat saya syukuri. Karena itu, saya sempat merasa bagai "pemenang" saat mendapati diri saya berhasil melewati fase tanpa "hujan airmata" selama beberapa waktu. Sudah sangat lama saya berusaha meninggalkan predikat "cengeng" yang pernah melekat erat pada diri saya, namun tak kunjung berhasil. Bagi saya, adalah suatu langkah besar bila berhasil untuk tidak menumpahkan emosi dan tangis untuk hal-hal yang sebenarnya remeh.

Tapi akhirnya, benteng pertahanan itu runtuh juga. Setelah sekian lama, akhirnya airmata itu harus menetes lagi. Meledak lebih tepatnya. Saya tidak tahu pasti, apa memang hal itu adalah sesuatu yang pantas untuk ditangisi. Kekecewaan bercampur emosi membuncah di dada ini. Sesak...

Ketika diri kita telah diliputi emosi, semua terasa buram. Gelap.

Batin saya seketika tertawa... apa ini tanda kekalahan? Apa ini balasan karena saya terlalu congkak? Atau mungkin terlalu lalai? Ya, mungkin ini sebuah peringatan.

Berkat sahabat-sahabat, rekan-rekan, dan keluarga luar biasa yang selalu mendampingi, saya mulai mengumpulkan kesadaran dan menjernihkan kembali air yang terlanjur keruh. Langkah paling mujarab: kembali berserah pada-Nya.

Saya mencoba untuk merangkum semua masukan yang ada (dengan sedikit penyesuaian bahasa tulisan):

"Belum tentu sesuatu yang kita sukai adalah yang terbaik untuk kita. Jadi, jangan bersedih, dan coba lihat apa hal terbaik yang bersiap menanti di depan sana."

"Kita tidak pernah bisa menerka rahasia Allah. Yang bisa kita lakukan hanya menjalankan hidup ini dengan sebaik-baiknya."

So, I tried to wipe my tears, and moved on...

Dan ternyata, bersama kesulitan ada kemudahan. Seperti mendapat pencerahan, saya mendapati sebuah kenyataan baru bahwa sesungguhnya saya tidak perlu menangisi hal yang sudah saya tangisi. Wah.. rasanya benar-benar lega! Ya, akhirnya satu ujian terlewati...

Alhamdulillah...



===catatan luapan perasaan seorang anak dengan sindrom hiperbolis===

Jumat, 03 Oktober 2008

Kura-Kura yang Bermimpi Menjadi Kupu-Kupu

Dalam sebuah buletin kampus ringan yang pernah saya baca dan dari celetukan-celetukan ringan khas percakapan antar-teman, saya mendapati penggolongan unik yang membagi mahasiswa menjadi 3 tipe: kupu-kupu, kunang-kunang, dan kura-kura.

"Kupu-kupu" alias "kuliah pulang - kuliah pulang" mewakili gambaran mahasiswa yang langsung angkat kaki dari kampus setelah jam kuliah berakhir, terus terbang melesat kembali ke rumah. Ada banyak alasan yang mendasari - umumnya mereka ini berdomisili jauh dari kampus atau pelajar rumahan.

Lain lagi dengan "kunang-kunang" alis si "kuliah nangkring - kuliah nangkring" yang mudah dijumpai di pelbagai tempat, dalam pelbagai aksi dan posisi, yang pasti di luar rumah. Terwujud dalam kemasan mahasiswa-mahasiswa pecinta hiburan (baca: bukan dalam konotasi negatif) yang menikmati hidup tanpa beban. 'Hidup ini sudah sulit, jadi tak perlu dibuat rumit' - mungkin itu kalimat yang dapat dijadikan representasinya.

Nah, yang terakhir, golongan ketiga yakni si "kura-kura" alias "kuliah rapat - kuliah rapat" terdiri dari mereka yang aktivis dan organisatoris. Dari yang optimis, idealis, hingga agamis bercampur dalam berbagai kegiatan yang mengusung banyak kepentingan.

Tapi, kura-kura dan kupu-kupu yang saya maksudkan dalam judul tulisan ini bukanlah itu. Perumpamaannya dalam sesuatu yang berbeda. Kura-kura yang saya maksudkan di sini adalah gambaran pribadi seseorang yang cenderung lamban dalam bergerak dan merespon. Saya tidak memungkiri bahwa seseorang itu mungkin saja saya - tapi saya juga tidak mengiyakan bahwa itu memang saya.

*****

Alkisah, seekor kura-kura dalam tempurungnya terbangun dari tidur karena terusik hentakan kaki dari kanguru yang berlompatan dengan lincah. Ia merasa tidak nyaman, dan bergerak perlahan mencari tempat yang lebih tenang. Namun karena lamban, ia selalu kalah bersaing meraih tempat dengan hewan-hewan lainnya yang juga mencari posisi nyaman untuk bersantai. Beberapa di antara mereka bahkan mencibir dan mengolok-olok kelambanan si kura-kura. Dalam hati, kura-kura meringis pedih.

Ia menengadahkan kepalanya ke atas, mendapati kawanan burung beterbangan ke arah selatan. Seekor kupu-kupu tampak terbang mengikuti dari ketinggian yang lebih rendah. Kupu-kupu cantik itu melesat dengan anggun, dan mendarat dengan mulus di ujung kuncup bunga yang mulai merekah. Kura-kura tanpa sadar terus mengikuti setiap gerakan halus dari si kupu-kupu dengan tatapan iri. Ya, ia bermimpi menjadi seekor kupu-kupu, yang tampak begitu cantik dan memesona di matanya. Namun dengan sedih, ia segera menepis angan mustahil itu.

Hari demi hari pun berlalu. Musim telah berganti. Dan kura-kura dikejutkan oleh sebuah kabar duka.

Kupu-kupu cantik telah meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Dalam usia yang begitu singkat, dalam wujud yang tak serupawan dulu. Ia tergeletak rapuh, kondisinya begitu menyedihkan. Kura-kura begitu terpukul. Ia tak pernah menyadari sebelumnya, bahwa segala kelebihan duniawi tak bersifat abadi.

Bahwa perjalanan waktu seringkali membawa kita menyadari bahwa kita ada di titik yang berseberangan memang benar adanya. Kupu-kupu memang cantik, tapi sebenarnya ia begitu ringkih dan rentan terhadap segala gangguan. Ia begitu bebas dan tak terikat - dan ini justru mudah membuatnya terombang-ambing dalam angin kencang. Sebaliknya, kura-kura yang lamban punya banyak waktu untuk berlindung dalam tempurung yang dengan setia selalu dibawanya walau memberatkan fisiknya dan membuat gerakannya melambat. Ia mendapatkan keamanan, justru dari keterikatannya dengan 'rumah' itu.

Dalam pikirnya, kura-kura telah memantapkan hati.

Ia tak lagi bermimpi menjadi seekor kupu-kupu...