Minggu, 22 November 2009

Tiba-tiba Saja Terpikir...

Seorang pemimpin bukanlah apa-apa atau siapa-siapa tanpa orang-orang yang dipimpinnya. Dalam artian, apakah seseorang masih dapat dikatakan seorang pemimpin bila tidak ada orang-orang yang siap mendukung kepemimpinannya?

Ketika semua orang tengah bereuforia menyambut calon-calon pemimpin masa depan, saya justru memikirkan hal lain: sudahkah kita mempersiapkan DIRI KITA dengan sebaik-baiknya untuk turut serta dalam membangun hari esok yang lebih baik?

Jujur, saya bukan tipikal orang yang senang menuntut banyak pada orang lain. Atau secara sederhana, saya paling tidak suka memaksakan seseorang melakukan suatu hal dengan standar yang saya sendiri mungkin belum bisa mencapainya. Oke, (lagi-lagi) mungkin hal ini hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat universal, karena kita tidak bisa memungkiri bahwa setiap orang memiliki “warna”nya masing-masing. Maksud saya, kita tidak bisa menampik bahwa ada orang-orang yang memiliki kualitas dalam hal tertentu, lebih baik dari hal lainnya. Sebut saja beberapa orang dapat dengan tenang – tanpa gentar sedikit pun – menghadapi sekerumunan massa dan berbicara dengan lugas. Atau beberapa orang lainnya seakan punya begitu banyak simpanan ide brilian di kepalanya, yang selalu memberikan “nafas segar” ketika orang-orang di sekelilingnya nyaris menemui jalan buntu.

Ada berjuta bentuk kualitas diri, begitu banyak warna, tapi menurut saya ada suatu kualitas yang seringkali dikesampingkan atau bahkan tidak dianggap sebagai suatu kualitas: “Komitmen & Loyalitas”.

Dulu, saya saya pernah merasa begitu rendah diri dibandingkan teman-teman di sekitar yang begitu luar biasa. Saya merasa tidak banyak yang bisa saya berikan. Saya merasa begitu tidak produktif. Saya terang-terangan pernah menyatakan rasa ini ke salah seorang teman, yang kemudian membesarkan hati saya. “Jangan pernah menyepelekan kontribusi sekecil apapun yang pernah kamu berikan, karena kamu mungkin tidak tahu betapa berharganya itu bagi orang lain”. Maka, dengan segenap upaya saya coba untuk mempertahankan komitmen yang telah dibangun di awal, dan berusaha untuk loyal pada tiap kesempatan.

Awalnya saya tidak yakin. Bagaimana bisa keberadaan seseorang yang hanya “duduk-manis-diam-mendengarkan” tampak berharga dibandingkan figur “aktif-dinamis-penuh ide-komunikatif-dan sebagainya”?

Pada akhirnya, perjalanan waktu mematahkan keraguan itu. Perlahan, saya mulai dapat memahami.

Coba kalian bayangkan, bila dalam sebuah pertemuan – atau sebuah rapat, semua anggota yang hadir berlomba-lomba untuk berbicara, mengeluarkan ide dan pendapat masing-masing, tanpa ada yang berusaha mengalah untuk mendengar? Ironis, bila dibandingkan dengan pepatah yang baru saja kembali diucapkan salah seorang teman beberapa waktu yang lalu “Manusia terlahir dengan dua telinga dan satu mulut, agar ia dapat mendengar lebih banyak”. Bahkan salah satu mata kuliah di kampus kita tercinta pun mengajarkan suatu teknik “mendengar aktif” – sebagai metode untuk meningkatkan kualitas komunikasi.

Dan ternyata, keberadaan orang lain di sekitar kita – bahkan hanya dengan melihat mereka saja – dapat menumbuhkan semangat bagi diri kita. Karena kita merasa aman, karena kita merasa selalu ada orang-orang yang menemani di samping kita – orang-orang yang siap berjuang bersama. Hanya dengan melihat binar semangat di mata mereka, dapat melipatgandakan energi yang tadinya nyaris terkuras habis. Tentunya, berjuang bersama akan terasa lebih ringan dibanding berjuang seorang diri, kan? ^-^

Dan bagaimana dengan kontribusi?

Allah memang selalu punya rencana bagi hamba-Nya. Justru di saat saya berkecil hati karena merasa tidak pernah memberikan sesuatu, Ia memberikan amanah yang akhirnya membuka kesempatan bagi saya untuk bisa berkontribusi seluas-luasnya. Ya, kesempatan itu datang, justru saat kita pernah merasa sebagai orang yang nyaris tidak pantas untuk itu. Seorang teman lainnnya berkata, “Loe ingat pernah merasa nggak kerja apa-apa selama ini? Mungkin inilah kesempatan buat loe, untuk bisa berkontribusi lebih!”

Maka, agak sedih rasanya ketika mendengar seseorang memutuskan untuk meninggalkan suatu hal, karena ia merasa tidak banyak berkontribusi di dalamnya. Bukan ilmu, bukan keahlian, bukan kecemerlangan potensi diri saja yang akan membuatmu “hidup” dalam suatu lingkup – khususnya dalam suatu organisasi. Yang paling penting adalah menjaga komitmen awal, dan menunjukkan loyalitas terhadap sekitarmu.



Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang yang sibuk berseru kencang di titik start, namun kemudian menghilang begitu saja ketika akhirnya “mobil" itu berhasil melaju…

Rabu, 23 September 2009

Talking About Love...

Jika cinta hanya membawa kepedihan
Maka sejatinya ia hanya bayang semu kehidupan

Ketika emosimu membuncah
Ketika tangismu melimpah ruah
Ketika jiwamu hanya diselimuti amarah
Makna cinta tak lebih dari sebuah ketiadaan

Cinta bukan perkara siapa berkekasih siapa
Tapi bagaimana engkau mengasihi yang kaucinta
Bukan perkara kepemilikan hati
Melainkan ketulusan hati

Mereka yang menyerukan cinta
Belum tentu mengukir cinta di hatinya
Karena ia bukan sekedar kata
Ia adalah rasa
Walaupun matamu tak dapat memvisualisasikannya
Walaupun kedua tanganmu tak dapat merabanya
Ia ada


*************************


Cinta. Sebuah kata dengan sejuta makna. Berbagai tulisan berlomba-lomba mengangkatnya sebagai tema. Begitu banyak lagu, puisi, film, dan karya seni lainnya dihasilkan atas nama cinta. Namun, tak ada yang bisa mendefinisikannya dengan pasti. Karena ia terlalu abstrak, terlalu sulit untuk diterjemahkan oleh sekedar untaian alfabetik.


Banyak orang mengaku sedih karena cinta. Kecewa karena cinta. Sakit hati karena cinta.

Namun sebaliknya, ada pula yang tersenyum karena cinta. Bahkan tertawa. Karena mereka bahagia.


Ada begitu banyak bentuk cinta di dunia ini, tapi entah mengapa saya merasa bahwa cinta yang melulu dibahas hanya cinta antar sepasang anak manusia berlainan jenis kelamin – cinta antar sepasang kekasih. Coba hitung, ada berapa banyak film, buku, dan lagu populer yang mengusung cinta jenis ini dalam “nafas”-nya? Tak jarang, hal ini justru mengesampingkan bentuk cinta yang lain. Sebut saja, kisah-kisah tentang hubungan sepasang pemuda-pemudi yang ditentang oleh kedua keluarga. Khas kisah “Romeo & Juliet” – namun dengan sentuhan yang lebih modern. Okelah, bila memang dalam film atau sinetron umumnya jalinan cerita sengaja dikemas hiperbolis, sehingga kadang ada kesan kedua tokoh utama = super protagonis, sementara keluarga = luar biasa antagonis, jahat, punya pemikiran luar biasa picik, dan segala sifat buruk lainnya. Tapi bila kita mencoba meresapi baik-baik, apa memang demikian adanya? Adakah orangtua yang tidak menginginkan kebahagiaan bagi anaknya?
Saya punya sedikit kekhawatiran – yang mungkin agak berlebihan – bila tayangan semacam ini terus merajalela, mau tidak mau paradigma yang terbentuk adalah: tidak apa-apa kau meninggalkan keluargamu untuk meraih cinta sejatimu. Padahal, itu berarti, kita melepas satu cinta, untuk mengejar cinta lainnya. Apakah itu sepadan?

Dalam dongeng kita seringkali terbuai dengan untaian kata “… and they live happily ever after…” setelah sang tokoh utama bertemu dengan pasangannya. Ingat kisah Cinderella? Tentunya kisah upik abu legendaris yang berhasil dipersunting seorang prince charming menjadi salah satu kisah favorit anak-anak perempuan di seluruh belahan dunia (atau setidaknya itu yang saya alami ^-^). Tidak ada dongeng lanjutan yang pernah menceritakan bagaimana beratnya kehidupan istana yang harus dijalani oleh putri sepatu kaca tersebut. Setelah menikah, kisah dengan sendirinya happy ending. Titik. But how about the reality?

Banyak pasangan yang menikah karena cinta – atas dasar suka sama suka, akhirnya bercerai karena berbagai alasan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi isu hangat yang diperbincangkan di masyarakat (khususnya di negara tercinta kita ini, dimana gosip laku keras melebihi kacang goreng yang diobral. Lihat saja betapa banyak tayangan infotainment menguasai jam tayang di dunia pertelevisian). Inilah kenyataan yang sering dikaburkan dalam kisah fiksi yang bertabur keindahan.

Coba bayangkan, bagaimana perasaan seorang ibu – yang telah mengandung selama sembilan bulan, yang menyambut tangis pertama bayi mungilnya dengan airmata bahagia walau rasa sakit tak tertahankan menjalari tubuhnya, yang membesarkan anaknya dengan cinta yang demikian besar dan tulus – mendapati buah hatinya memilih meninggalkannya untuk lari bersama seseorang yang baru dikenalnya, atas nama cinta? Lantas, bila demikian, siapa pihak yang tidak memahami makna cinta itu?

Bahwa cinta punya begitu banyak rupa, saya sepakat. Dan alangkah baiknya jika satu sama lain tidak saling berlomba untuk menang. Karena perkara mencintai bukanlah kompetisi. Bukan masalah memilih antar satu dengan yang lainnya. Cinta tidak akan habis walaupun kau bagi, sebanyak apapun hati yang menanti untuk mendapat bagian. Kau mungkin tidak bisa mengukur sebesar apa cinta di hatimu, namun yakinlah, bahwa ia ada, dan ia demikian besar. Insya Allah… ^-^


***************************

Dedicated to people that I love:
Keluargaku…
Sahabat-sahabatku…
Semua yang pernah singgah di hari-hari sepanjang hidupku, menorehkan makna…

Thank’s for the greatest love that you’d gave to me… ^-^

***Alhamdulillah, rasa syukur yang begitu besar kupanjatkan kepada Allah yang telah memberikan hidup yang begitu istimewa…***

Rabu, 26 Agustus 2009

What I Think Just Now...

Terkadang
Seseorang terlalu sibuk berusaha meraih hal-hal besar
Dan lupa merengkuh titik-titik kecil yang telah berhasil diperolehnya
Padahal sebongkah batu besar pun disusun oleh partikel-partikel zat padat yang sedemikian kecil

Terkadang
Seseorang terlalu bersemangat finding “the right one”
Tanpa menyadari bahwa di sampingnya telah ada “someone”
Mungkin tanpa wajah rupawan
Namun berhati menawan

Terkadang
Seseorang terlalu iri melihat kenikmatan yang direguk orang lain
Dan tak mensyukuri kepingan anugerah yang telah dilimpahkan padanya

Untuk apa harta melimpah?
Bila jiwamu tetap miskin
Untuk apa menjadi pujaan?
Bila hatimu masih kosong

Bagaimana bisa kau mengharap lebih?
Sebelum kau menghargai apa yang ada di genggamanmu

Orangtua yang bijak tidak akan membelikan mainan baru bagi anak yang tidak mau bertanggungjawab merawat dan menjaga mainannya sendiri…

Dan tidak semua orang seberuntung dirimu yang dapat membaca tulisan ini dengan kedua mata indahmu, kawan…


****

Hanya ingin sekedar berbagi, untuk diri yang sedang diselimuti kegalauan.... Semoga bermanfaat!

What Will You Do If You See A Beggar?



a. Pura-pura tidak melihat
b. Memandang dengan sinis
c. Menggerakkan tangan sebagai isyarat penolakan halus
d. Mengomel
e. Memberi sedekah
f. …………………. (isi sendiri dengan jawaban ala dirimu)

************************************************************************


Samar-samar, saya ingat telah belajar mata pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) sejak mengenyam bangku pendidikan sekolah dasar (baca: SD). Ketika itu, ini merupakan salah satu mata pelajaran favorit saya (selain matematika ^-^) karena jawaban-jawabannya sangat mudah ditebak (terkait moral keseharian yang sederhana namun aplikasinya dipertanyakan – setidaknya untuk sekarang).

Mungkin gambaran soalnya kira-kira seperti ini:

Apa yang sebaiknya kamu lakukan bila menemukan dompet di tengah jalan?
a. Membiarkan saja
b. Mengambil dan menjadikannya milikmu
c. Membawa ke kantor polisi

Saya yakin seratus persen, opsi jawaban yang dibenarkan saat itu adalah C. Walaupun pada kenyataannya, saya akan lebih memilih mengecek terlebih dahulu identitas si pemilik dan bila memungkinkan menghubungi atau mengembalikan langsung…^.^

Kenapa tiba-tiba saya membahas topik ini?

Karena saya merasa, nilai-nilai ideal yang ditanamkan sejak kecil entah kenapa sedikit demi sedikit mulai tergeser oleh berbagai “bumbu-bumbu” yang menjadikan hidup lebih kompleks. Salah satu contoh yang ingin saya angkat adalah masalah pengemis.

Sejak dulu, saya (dan mungkin sebagian besar teman-teman juga) selalu diajarkan untuk berbagi kepada sesama. Dalam hal ini, maksudnya adalah kita membantu orang lain di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan di luar hal-hal yang sifatnya maksiat. Dengan pemikiran yang “lurus”, ini membuat saya menerjemahkan bahwa memberi sedekah pada pengemis menjadi hal yang dibenarkan, dan bahkan merupakan suatu keharusan bila kita memang mampu. Selama ada rezeki di kantong, tak ada salahnya untuk sekedar berbagi.

Tapi pemahaman ini entah kenapa jadi tergoyahkan dengan berbagai peraturan-peraturan yang timbul di kemudian hari.

Jumlah pengemis dkk yang “beroperasi” secara liar di jalanan terus bertambah, dan hal ini dianggap sebagai suatu permasalahan yang harus disikapi secara tegas. Menjamurnya “komunitas jalanan” dikaitkan dengan lemahnya perekonomian, dimana banyak pengangguran justru menggantungkan mata pencaharian dari uluran tangan orang lain. Bahkan, beberapa di antara mereka tergabung dalam kelompok khusus (atau secara ekstrim diistilahkan sebagai “sindikat”) yang memang sengaja dibentuk untuk meraup peruntungan lebih. Mereka dengan sengaja meminjam bayi dan anak-anak untuk menemani mengais penghasilan, memancing rasa iba dan kasihan.

Mungkin karena itulah, pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan yang melarang pemberian uang bagi pengemis. Setidaknya, perda yang mengatur ini telah dikeluarkan dan diberlakukan di beberapa daerah. Tak tanggung-tanggung, denda yang akan dikenakan bila melanggar aturan ini mencapai nominal puluhan juta rupiah. (Ini sebatas yang saya ketahui, mohon maaf bila salah).

Sedikit banyak, hal di atas membuat saya menjadi ragu untuk mengeluarkan sedekah (selain ke lembaga atau kegiatan sosial yang alokasinya cukup terpercaya). Di satu sisi, saya sedih bila tak bisa sedikit meringankan beban saudara-saudara di luar sana. Tapi di sisi lain, saya tak ingin bantuan itu justru menimbulkan adiksi dan membuat mereka bergantung.

Beberapa orang di sekitar saya pernah berkomentar,

“Huh! Jelas-jelas mereka masih muda dan sehat! Pasti mereka malas cari kerja! Maunya cari uang yang instan, sih…”

(Padahal mungkin orang di hadapannya itu telah sekian lama pontang-panting mencari alternatif namun tak kunjung memperoleh peluang)

Saya sendiri tak berani berkomentar demikian. Lah wong saya masih tercatat sebagai anak sekolahan (baca: mahasiswa) yang bergantung dari cucuran dana orang tua untuk mencukupi segala kebutuhan hidup. Yah, masih menjadi peminta-minta juga.

Hmm… okelah. Mungkin untuk mereka yang masih dalam usia produktif dan tampak bugar jiwa-raga, saya kurang respek bila mereka memilih jalur ini. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Mereka dengan cacat fisik? Atau bahkan yang sudah berusia lanjut?

Saya punya adik yang masih sangat kecil,Dan melihat anak-anak justru menjalani kehidupan di jalanan membuat saya sedih.

“Hei nak, kemana ibumu?
Wahai ayah dan ibu, kemana kalian hingga membiarkan buah hati berkeliaran di jalan?”

Saya tinggal bersama eyang yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun,
Dan saya merasa miris melihat sosok-sosok renta masih menyusuri terik matahari dengan menengadahkan sebelah tangan ke arah kendaraan yang lalu lalang.

“Kemana kalian, wahai putra, putri, cucu, dan cicit?”


NB: Kemarin dilema kembali berkecamuk, saat tak sengaja ada seorang pengemis paruh-baya tuna netra duduk di depan restoran tempat saya akan membeli makanan. Saat kebingungan melanda (terlebih kantong sedang dalam kondisi minus), tiba-tiba sepasang suami-istri menghampiri si pengemis dan mengulurkan segelas minuman.

Sang suami berbisik pelan sambil menyelipkan lembaran uang (yang saya tak bisa pastikan jumlahnya) ke tangan si pengemis,

“Bapak pasti haus, ini ada sedikit minuman. Tak seberapa, tapi semoga bermanfaat.”

Sang istri yang tampak dalam kondisi hamil besar, tersenyum.

Sepertinya mereka berdua berusaha memberi teladan untuk berbuat baik pada orang lain, bahkan sebelum si bayi lahir ke dunia… ^-^ (love it!)


*****


Sekarang, bila kita dihadapkan dengan pertanyaan seperti di bawah ini, opsi jawaban mana yang akan kita pilih:

APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN BILA MELIHAT SEORANG PENGEMIS?

a. Pura-pura tidak melihat
b. Memandang dengan sinis
c. Menggerakkan tangan sebagai isyarat penolakan halus
d. Mengomel
e. Memberi sedekah
f. …………………. (isi sendiri dengan jawaban ala dirimu)


Selamat menentukan!

Jumat, 03 Juli 2009

Va' dove ti porta il cuore

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil,
janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.
Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu,
tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi.
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,
dan pergilah ke mana hati membawamu...
(Susanna Tamaro)

*****
Kutipan di atas saya ambil dari sebuah novel karya Susanna Tamaro, seorang penulis Italia, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Va' dove ti porta il cuore" atau "Pergilah ke Mana Hati Membawamu". Saya masih ingat dengan baik kapan dan dimana saya membeli buku itu, sekitar setahun yang lalu. Buku ini tidak saya pilih secara spontan, melainkan berdasarkan rekomendasi seorang sahabat (thanks to Dina) yang sudah lebih dulu "mencicipi". Dan ternyata, isinya agak membuat saya merefleksikan diri ke dalam tokoh-tokoh di buku itu, dimana peranan utama dipegang oleh sang nenek yang menjadi penulis (Fyi, penuturan di novel ini menggunakan pola "catatan harian") mengingatkan saya pada eyang saya (love her so much!).
Tapi dari kesemuanya, petikan kalimat-kalimat bercetak miring di atas merupakan bagian favorit saya. Dan senangnya, bagian itu tertera di cover belakang buku, jadi saya tak perlu bersusah-susah mencari halaman di dalam buku bila ingin membacanya.
"Pergilah ke Mana Hati Membawamu"...
Kedengarannya mudah.
Tapi realisasinya tidak sesimpel itu.
Bagaimana bila kita sendiri tidak cukup memahami diri kita untuk tahu kemana sebenarnya hati ingin melangkah?
Saya percaya, setiap orang pasti pernah mengalami fase dimana begitu banyak (atau mungkin kita cukup katakan lebih dari satu) pilihan terbentang di depan mata. Masing-masing dengan kelebihan dan konsekuensi tersendiri. Dan saya termasuk orang yang seringkali terjebak di persimpangan dalam kebingungan. Begitu banyak hal yang menjadi pertimbangan, karena bagi saya, keputusan yang diambil dalam sepersekian detik bisa sangat mempengaruhi jalan hidup seseorang ke depannya, secara signifikan.
Jika dilema ini menjadi berkepanjangan, ada satu tempat bernaung yang menjadi tempat bergantung. Allah - Sang Khalik, Sang Pemilik Semesta. Semua persoalan, semua pilihan, semua kesempatan, semua kemudahan... datang dari-Nya. Ketika ragu, Ia akan memberi jalan untuk mengukuhkan. Dengan cara-Nya.
Tapi tetap, kita-lah pion-pion yang bergerak melangkah. Pada akhirnya, kita pun harus bisa memilah, mana hal-hal yang memang baik, dan mana hal yang sekedar "tampak baik" untuk kita saat ini. Bahkan saat kita memilih sesuatu yang sebenarnya sudah paling sesuai bukan berarti selanjutnya akan berjalan mudah. Akan selalu ada kerikil-kerikil untuk menguji seberapa kuat niat dan ikhtiar kita. Walau terasa berat, jika kita menguatkan hati, insya Allah semuanya bisa berhasil dihadapi.
..................................
(dini hari, catatan kecil kala insomnia setelah tidur panjang, saat kegalauan masih sedikit menyelimuti)

Sabtu, 23 Mei 2009

Bermimpi Untuk Bertualang?

"... Petualangan adalah candu. Sekali kau mulai, bahkan dirimu sendiri tak bisa menghentikan hasrat bertualangmu. Jika kamu membenci kegelisahan dan menyukai hidup yang tenang, jangan pernah memulai petualanganmu karena petualangan adalah sarang kegelisahan yang sengaja kau cari.
Petualangan bukanlah sekadar pergi dari satu tempat ke tempat lain, mengunjungi tempat-tempat jauh dan menyaksikan hal-hal baru. Petualangan bukan sekadar mengajak derap langkahmu menuju tempat-tempat asing yang kau idamkan. Petualangan adalah pergi tanpa titik tujuan, membiarkan dirimu tersesat, mencari, dan memilih; dan kamu tak tahu kapan harus pulang.
Jangan bertualang. Cukupkan dirimu pada pelesir ke tempat-tempat indah yang belum pernah kau kunjungi, dan tetapkan sebelum pergi kapan kamu harus pulang..."


*************
Sejak dulu, saya merasa bahwa saya bukan tipe orang yang senang berpelesir atau sekedar bepergian ke tempat-tempat di luar rumah. Well, I thought home is my best place.
Kini, saat perjalanan waktu berhasil menyuguhkan gambaran-gambaran keindahan sekaligus ironi di berbagai belahan dunia - melalui potongan visual langsung maupun deskripsi imajinatif melalui kata dan melodi, saya menjadi sedikit tergelitik. Ya, keinginan untuk "melihat" dunia mulai tumbuh. Dan tanpa sadar saya mulai mengangankannya.
Dan sekarang, saya dihadapkan pada 2 pilihan yang sulit: mengambil kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang lama saya idamkan, atau menerima tawaran ke tempat yang sebenarnya tak begitu saya impikan, namun punya pesona tersendiri dengan kemudahan lebih daripada pilihan pertama. Menyisihkan waktu untuk berlibur telah menjadi dilema tersendiri, dan sekarang bertambah lagi hal yang harus dipertimbangkan.
Tapi saya percaya, Allah selalu punya rencana yang terbaik. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat dihadapkan pada persimpangan pilihan yang sulit, masing-masing memiliki konsekuensi yang cukup berat secara moril. Dan akhirnya, ada jalan ketiga yang muncul. Yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
Tidak ada yang bisa menebak dengan pasti, apa yang akan terjadi esok.
Just let the things that should be happen, happened.

Rabu, 13 Mei 2009

Kisah Hujan

Ia menyukai hujan dengan segala keindahan alam yang terpancar dalam rinainya
Ia menikmati sensasi sejuk yang terkadang menegakkan rambut halus di kuduknya
Ia membaui aroma rintik gerimis hujan bagai wangi kesturi yang semerbak


Setiap tetes yang membasahi tubuhnya dirasakan sebagai suatu anugrah tak ternilai
Gemericik, genangan air yang terpercik langkah-langkah terdengar bagai alunan harmoni yang merdu di telinganya
Saat payung aneka warna bergerak cantik dalam temaram kabut, ia melihatnya bagai pelangi yang masih bersembunyi malu di balik awan


Ya,
Ia mengagumi hujan
Ia memuja hujan
Ia mencintai hujan


Karena hujan
Membawa senyum
Membuka tawa
Menebar bahagia
Memulas rona di wajahnya...

Minggu, 26 April 2009

Kasih Ibu

Anakku,
bila esok kau terbangun dan aku tak tampak di sisimu, jangan takut.
Karena walau raga kita jauh, hatiku tetap menyertaimu.

Anakku,
bila kau lapar, aku telah menghidangkan sarapan di atas meja makan.
Sup hangat, yang mungkin telah menjadi dingin saat akan kau santap.
Tapi percayalah padaku, kasihku.
Kehangatan kasih seorang ibu akan senantiasa terjaga dan tak akan membeku ditelan waktu...



A little note, dedicated to amazing women called "Mom"...

=(airaxa)=

Minggu, 29 Maret 2009

Penat

Entah kenapa, rasanya malam ini kepala saya terasa penat.
Apakah ini akumulasi dari berbagai peristiwa yang datang bertubi-tubi, memaksa masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menggerogoti tiap ruang yang ada di dalamnya?

Mungkin saya hanya butuh pelarian.
Bukan untuk bersandar, karena tidak ada sandaran yang lebih kokoh dari-Nya.
Tapi tetap saja, fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang tidak hanya memiliki hubungan “vertikal” tetapi juga “horizontal”, menjadikan saya cenderung butuh tempat lain untuk menuangkan segala kepenatan ini. Butuh ruang lebih untuk berekspresi dan berbagi. Dimana saya bisa menempatkan diri dalam interaksi yang sejajar.

Semakin tidak jelas?
Maaf, karena seperti inilah cara saya dalam bertutur.
Tidak mengutarakan sesuatu secara eksplisit, dan memilih untuk bercerita dengan samar.

Kadang saya bingung dengan diri saya sendiri.
Kebingungan yang membuat saya khawatir.
Bahkan merasa takut.
Ketika seseorang menarik opini akan sesuatu, seringkali unsur subyektivitas menjadi dominan di dalamnya. Tidak salah, tapi berbahaya jika melenakan.
Ada kecemasan tersendiri ketika melihat orang lain menilai sesuatu sebagai hal negatif, sementara saya merasa tidak ada yang salah, bahkan semua tampak sangat baik di mata saya. Saya yang kurang peka, atau mereka yang terlalu berlebihan? Saya tidak cukup yakin untuk menjawabnya.
Yang pasti, saya sangat menghargai nilai suatu usaha, sekecil apapun. Sulit bagi saya untuk menuntut orang lain mencapai standar yang begitu tinggi, sebelum saya bisa menjamin diri saya sendiri sanggup memenuhinya.

Jangan hanya menyalahkan seseorang atas kekhilafan yang dilakukannya, tapi berusahalah untuk mengetahui apa yang menyebabkannya khilaf. Bila memang ini adalah perkara yang berat, sudahkah kita mengulurkan tangan untuk meringankan bebannya?

Dari satu topik, langsung melompat ke topik lainnya.
Jelas, saraf di otak ini benar-benar sedang kusut.
Butuh penyegaran!

Selasa, 10 Maret 2009

Sebuah Renungan

Ketika kamu lelah dan berhenti, maka lihatlah sekelilingmu.
Betapa peluh yang mengalir tak hanya berupa butiran, melainkan telah membanjiri seluruh tubuh mereka.
Jika kamu berkaca, apa yang kamu dapati?
Sosok yang tampak begitu segar, begitu bugar bila dibandingkan dengan mereka.
Maka, hapus asa-mu, dan segeralah bergegas.
Ragamu, jiwamu, semangatmu, telah lama dinanti untuk kembali…

Teruntuk Sahabat... Ketika Cinta Membawa Kepedihan

Manusia bisa patah hati sebanyak ia mencintai
Namun sejatinya hanya satu pelabuhan cinta yang abadi
Dia yang menjadikan kita dari ketiadaan
Yang mengisi kehampaan hati dengan kebahagiaan...

(airaxa)

**********
MENCINTAI...
BUKANlah bagaimana kamu melupakan..
melainkan bagaimana kamu MEMAAFKAN...
BUKANlah bagaimana kamu mendengarkan..
melainkan bagaimana kamu MENGERTI...
BUKANlah apa yang kamu lihat..
melainkan apa yang kamu RASAKAN...
BUKANlah bagaimana kamu melepaskan..
melainkan bagaimana kamu BERTAHAN...
Lebih bahaya mencucurkan air mata dalam hati
dibandingkan menangis tersedu-sedu...
Air mata yang keluar dapat dihapus
sementara air mata yang tersembunyi
menggoreskan luka yang tidak akan pernah hilang...
Akan tiba saatnya
dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang
BUKAN karena orang itu berhenti mencintai kita
MELAINKAN karena kita menyadari
bahwa orang itu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya
Apabila kamu benar-benar mencintai seseorang,
jangan lepaskan dia...
jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamu benar-benar mencintai
melainkan... BERJUANGLAH demi cintamu
Itulah CINTA SEJATI
Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan
DARIPADA
berjalan bersama orang 'yang tersedia'
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
DARIPADA
orang yang berada di sekelilingmu
Lebih baik menunggu seseorang yang tepat
karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang hanya dengan 'seseorang'
(Kahlil Gibran)

Kamis, 08 Januari 2009

Selintas Dalam Benak

Lagi, airmata keluar dari persembunyiannya. Kali ini bukan karena egoisme pribadi semata. Semoga...

**************

Kini, hampir seluruh dunia menyoroti kemelut yang terjadi di Timur Tengah, antara Israel dan Palestina. Mengkritik, menghujat, bahkan menghakimi. Berlomba-lomba beropini, walau tak sedikit yang beraksi. Saya tak mengelak, mengakui bahwa pernah terlibat dalam diskusi - atau sekedar perbincangan singkat - mengenai hal ini.

Terang saya mengecam. Peperangan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya adalah manifestasi keburukan pola pikir manusia yang penuh keterbatasan. Sepakat?

Bayangkan saja, betapa ironisnya bila kita bergerilya dalam keseharian, terus menerus diliputi kecemasan dan dikejar ketakutan. Setiap kali suara menggelegar terdengar, seakan jam waktu kita akan semakin melambat. Dan ia dapat berhenti berdetak kapan pun. Tanpa bisa kita tolak.

Saya tidak peduli lagi mengenai siapa yang memulai, tapi saya akan SANGAT menghargai siapapun yang dapat mengakhiri.

Ini bukan hanya perkara menang atau kalah.

Seseorang yang masih punya hati nurani, seharusnya bisa memahami. Dan saya berharap tak hanya seorang, melainkan setiap orang.


NB: Kepada mereka yang hanya bisa dijumpai dari balik layar kaca, yang diliputi durja dalam wajahnya, semoga mentari segera mengikis kegelapan yang pekat ini. Amien.

Kamis, 01 Januari 2009

Ketika Tahun Berganti, Apa yang Bersiap Menanti?

Dunia sedang ber-euforia menyambut kedatangan tahun baru.

Bulan Januari kembali menyapa di lembaran baru kalender Masehi, sementara penanggalan Hijriyah telah lebih cepat mendahului.
Di satu sisi, perayaan besar-besaran diselenggarakan untuk menyambutnya. Di sisi lain, sebagian penduduk di berbagai belahan dunia tengah kompak serempak mengutuki segala bentuk kekerasan dan kekacauan yang memporakporandakan sebuah negeri di kawasan Timur Tengah. Belum lagi insiden-insiden yang terjadi di beberapa tempat di malam pergantian tahun, yang secara tragis merenggut tak sedikit nyawa, di saat orang-orang tengah menikmati hiruk-pikuk di pesta hura-hura.

Ironis.

Pergantian tahun hendaknya dimaknai dengan suatu kearifan.
Saatnya kita berkaca selama setahun ke belakang, bagaimana bentuk jalur yang telah lalui.
Apakakah kita telah meninggalkan jejak emas? Atau justru menorehkan goresan kasar dan mengotori pijakan?

Bahkan saya pun malu rasanya bila kembali menoleh ke belakang.
Tapi inilah yang harus menjadi motivasi bagi kita untuk menatap ke depan.
Kita pantas bersyukur, bisa kembali mengawali episode tahunan kita.
Saat mungkin ada "mereka" yang tidak mampu mereguk nikmat ini. Ya, bahkan "mereka" tidak peduli hari apa kini. Bukan tidak mau, tapi kondisi yang membuat jadi tidak mampu.

Mari, kita bersiap untuk berbuat "lebih" tahun ini.
Bukan hanya sekedar resolusi, tapi harus terwujud konkrit dalam kontribusi.
Apapun itu, dimanapun kita berada, saya percaya - setiap orang memiliki "lahan"-nya sendiri.

Semoga, tak hanya sekedar menjadi angan.