Rabu, 26 Agustus 2009

What I Think Just Now...

Terkadang
Seseorang terlalu sibuk berusaha meraih hal-hal besar
Dan lupa merengkuh titik-titik kecil yang telah berhasil diperolehnya
Padahal sebongkah batu besar pun disusun oleh partikel-partikel zat padat yang sedemikian kecil

Terkadang
Seseorang terlalu bersemangat finding “the right one”
Tanpa menyadari bahwa di sampingnya telah ada “someone”
Mungkin tanpa wajah rupawan
Namun berhati menawan

Terkadang
Seseorang terlalu iri melihat kenikmatan yang direguk orang lain
Dan tak mensyukuri kepingan anugerah yang telah dilimpahkan padanya

Untuk apa harta melimpah?
Bila jiwamu tetap miskin
Untuk apa menjadi pujaan?
Bila hatimu masih kosong

Bagaimana bisa kau mengharap lebih?
Sebelum kau menghargai apa yang ada di genggamanmu

Orangtua yang bijak tidak akan membelikan mainan baru bagi anak yang tidak mau bertanggungjawab merawat dan menjaga mainannya sendiri…

Dan tidak semua orang seberuntung dirimu yang dapat membaca tulisan ini dengan kedua mata indahmu, kawan…


****

Hanya ingin sekedar berbagi, untuk diri yang sedang diselimuti kegalauan.... Semoga bermanfaat!

What Will You Do If You See A Beggar?



a. Pura-pura tidak melihat
b. Memandang dengan sinis
c. Menggerakkan tangan sebagai isyarat penolakan halus
d. Mengomel
e. Memberi sedekah
f. …………………. (isi sendiri dengan jawaban ala dirimu)

************************************************************************


Samar-samar, saya ingat telah belajar mata pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) sejak mengenyam bangku pendidikan sekolah dasar (baca: SD). Ketika itu, ini merupakan salah satu mata pelajaran favorit saya (selain matematika ^-^) karena jawaban-jawabannya sangat mudah ditebak (terkait moral keseharian yang sederhana namun aplikasinya dipertanyakan – setidaknya untuk sekarang).

Mungkin gambaran soalnya kira-kira seperti ini:

Apa yang sebaiknya kamu lakukan bila menemukan dompet di tengah jalan?
a. Membiarkan saja
b. Mengambil dan menjadikannya milikmu
c. Membawa ke kantor polisi

Saya yakin seratus persen, opsi jawaban yang dibenarkan saat itu adalah C. Walaupun pada kenyataannya, saya akan lebih memilih mengecek terlebih dahulu identitas si pemilik dan bila memungkinkan menghubungi atau mengembalikan langsung…^.^

Kenapa tiba-tiba saya membahas topik ini?

Karena saya merasa, nilai-nilai ideal yang ditanamkan sejak kecil entah kenapa sedikit demi sedikit mulai tergeser oleh berbagai “bumbu-bumbu” yang menjadikan hidup lebih kompleks. Salah satu contoh yang ingin saya angkat adalah masalah pengemis.

Sejak dulu, saya (dan mungkin sebagian besar teman-teman juga) selalu diajarkan untuk berbagi kepada sesama. Dalam hal ini, maksudnya adalah kita membantu orang lain di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan di luar hal-hal yang sifatnya maksiat. Dengan pemikiran yang “lurus”, ini membuat saya menerjemahkan bahwa memberi sedekah pada pengemis menjadi hal yang dibenarkan, dan bahkan merupakan suatu keharusan bila kita memang mampu. Selama ada rezeki di kantong, tak ada salahnya untuk sekedar berbagi.

Tapi pemahaman ini entah kenapa jadi tergoyahkan dengan berbagai peraturan-peraturan yang timbul di kemudian hari.

Jumlah pengemis dkk yang “beroperasi” secara liar di jalanan terus bertambah, dan hal ini dianggap sebagai suatu permasalahan yang harus disikapi secara tegas. Menjamurnya “komunitas jalanan” dikaitkan dengan lemahnya perekonomian, dimana banyak pengangguran justru menggantungkan mata pencaharian dari uluran tangan orang lain. Bahkan, beberapa di antara mereka tergabung dalam kelompok khusus (atau secara ekstrim diistilahkan sebagai “sindikat”) yang memang sengaja dibentuk untuk meraup peruntungan lebih. Mereka dengan sengaja meminjam bayi dan anak-anak untuk menemani mengais penghasilan, memancing rasa iba dan kasihan.

Mungkin karena itulah, pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan yang melarang pemberian uang bagi pengemis. Setidaknya, perda yang mengatur ini telah dikeluarkan dan diberlakukan di beberapa daerah. Tak tanggung-tanggung, denda yang akan dikenakan bila melanggar aturan ini mencapai nominal puluhan juta rupiah. (Ini sebatas yang saya ketahui, mohon maaf bila salah).

Sedikit banyak, hal di atas membuat saya menjadi ragu untuk mengeluarkan sedekah (selain ke lembaga atau kegiatan sosial yang alokasinya cukup terpercaya). Di satu sisi, saya sedih bila tak bisa sedikit meringankan beban saudara-saudara di luar sana. Tapi di sisi lain, saya tak ingin bantuan itu justru menimbulkan adiksi dan membuat mereka bergantung.

Beberapa orang di sekitar saya pernah berkomentar,

“Huh! Jelas-jelas mereka masih muda dan sehat! Pasti mereka malas cari kerja! Maunya cari uang yang instan, sih…”

(Padahal mungkin orang di hadapannya itu telah sekian lama pontang-panting mencari alternatif namun tak kunjung memperoleh peluang)

Saya sendiri tak berani berkomentar demikian. Lah wong saya masih tercatat sebagai anak sekolahan (baca: mahasiswa) yang bergantung dari cucuran dana orang tua untuk mencukupi segala kebutuhan hidup. Yah, masih menjadi peminta-minta juga.

Hmm… okelah. Mungkin untuk mereka yang masih dalam usia produktif dan tampak bugar jiwa-raga, saya kurang respek bila mereka memilih jalur ini. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Mereka dengan cacat fisik? Atau bahkan yang sudah berusia lanjut?

Saya punya adik yang masih sangat kecil,Dan melihat anak-anak justru menjalani kehidupan di jalanan membuat saya sedih.

“Hei nak, kemana ibumu?
Wahai ayah dan ibu, kemana kalian hingga membiarkan buah hati berkeliaran di jalan?”

Saya tinggal bersama eyang yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun,
Dan saya merasa miris melihat sosok-sosok renta masih menyusuri terik matahari dengan menengadahkan sebelah tangan ke arah kendaraan yang lalu lalang.

“Kemana kalian, wahai putra, putri, cucu, dan cicit?”


NB: Kemarin dilema kembali berkecamuk, saat tak sengaja ada seorang pengemis paruh-baya tuna netra duduk di depan restoran tempat saya akan membeli makanan. Saat kebingungan melanda (terlebih kantong sedang dalam kondisi minus), tiba-tiba sepasang suami-istri menghampiri si pengemis dan mengulurkan segelas minuman.

Sang suami berbisik pelan sambil menyelipkan lembaran uang (yang saya tak bisa pastikan jumlahnya) ke tangan si pengemis,

“Bapak pasti haus, ini ada sedikit minuman. Tak seberapa, tapi semoga bermanfaat.”

Sang istri yang tampak dalam kondisi hamil besar, tersenyum.

Sepertinya mereka berdua berusaha memberi teladan untuk berbuat baik pada orang lain, bahkan sebelum si bayi lahir ke dunia… ^-^ (love it!)


*****


Sekarang, bila kita dihadapkan dengan pertanyaan seperti di bawah ini, opsi jawaban mana yang akan kita pilih:

APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN BILA MELIHAT SEORANG PENGEMIS?

a. Pura-pura tidak melihat
b. Memandang dengan sinis
c. Menggerakkan tangan sebagai isyarat penolakan halus
d. Mengomel
e. Memberi sedekah
f. …………………. (isi sendiri dengan jawaban ala dirimu)


Selamat menentukan!