Senin, 13 September 2010

People In Your Life...

As time goes by, I believe that people in our life could come and go. Some people just easy to come, easy to go. But others might stay longer. Probably until the end of our life, though. We just don't know who will be which. But every single person always brings something. Good or bad, the presence of someone gives us things to learned....

*****

Saya bersyukur, terlahir di dunia dimana saya tumbuh dan dikelilingi banyak orang yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajari saya dalam memaknai kehidupan. Terkadang, kita tidak perlu mengalami suatu hal untuk memahami bahwa itu baik atau buruk, karena kita dapat belajar dari pengalaman orang lain. Experience is the best teacher -- but you don't have to do all by yourself... :)

Saat kita merasakan kebaikan dari orang lain, kita dapat memahami kebahagiaan yang timbul, dan akhirnya (dalam kondisi ideal) akan cenderung meneruskan kebaikan itu. Namun, saat kita merasakan hal yang sebaliknya (mengalami suatu hal yang buruk), kita akan memahami bahwa melakukan hal yang sama hanya akan membuat lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Hanya aura negatif yang akan terus menyelubungi.

Sekecil apapun peran seseorang dalam porsi hidup kita secara keseluruhan, tentunya ada makna tersendiri yang mereka torehkan. Walaupun bahkan keberadaan mereka nyaris tidak lagi kita ingat ataupun sadari. (Atau sebaliknya, mereka pun lupa bahwa kita pernah singgah di kehidupan mereka ^^). Contohnya saja, guru TK yang pertama kali mengajari saya membaca (saya benar-benar sudah tidak ingat wajah dan namanya). Dari beliaulah saya bisa berkenalan dengan dunia alfabetik, sampai akhirnya bisa menulis untaian kata dalam blog ini setiap kali saya butuh 'pelarian'. Saya mungkin telah melupakan beliau, tapi apa yang diajarkannya masih lekat dan bermanfaat hingga kini.

Atau contoh lainnya. Saya pernah punya sahabat karib saat sekolah dasar, yang terputus hubungan karena saya pindah mengikuti dinas orangtua. Awalnya, kami masih saling berkirim surat layaknya dua orang sahabat pena. Namun entah dalam berapa waktu akhirnya korespondensi ini terhenti. Beberapa malam saya dihantui rasa bersalah karena tidak membalas suratnya -- saya kehilangan alamatnya, entah bagaimana detil ceritanya, saya pun sudah tak dapat mengingat dengan sempurna. Saya melanjutkan hidup, dan begitu pula dia. Hingga suatu situs jejaring sosial mempertemukan kami nyaris sepuluh tahun kemudian -- mungkin ini contoh ketidaksengajaan yang disengaja. :) Hanya ada obrolan ringan yang singkat, namun cukup untuk membuat bernostalgia. Terkenang kembali penyesalan karena tidak bisa membalas surat, namun kali ini tanpa kesedihan. Dari sini saya belajar, bahwa di dunia ini akan ada orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup kita. Ibarat pelakon sinetron yang masa kontraknya habis setelah sekian episode, mungkin begitulah kira-kira porsi mereka dalam hidup kita.

Kadang mereka pergi begitu saja tanpa kita sadari. Kadang mereka pergi karena keadaan yang memaksa demikian. Kadang mereka pergi karena apa yang kita lakukan. Dan saat mereka pergi, tak ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Ada beragam bentuk dari kepergian dan kehilangan. Kepergian abadi yang dikukuhkan oleh kematian, kepergian karena terpisahkan oleh jarak dan waktu, kehilangan karena tembok bernama kesibukan dan dunia baru, hingga kehilangan yang tak kasatmata - dimana secara jasmani kita masih dapat menjumpai, namun perasaan dan kenyamanan yang tak lagi sama membuat seakan menjauh, bahkan menghilang. Ibarat kabel telepon yang rusak dan terputus sambungan. Tidak ada yang tahu pasti, berapa lama hal ini akan bertahan. Kepergian dan kehilangan yang tidak abadi tidak pernah dapat diprediksi. Hanya perjalanan waktu yang bisa menjawab, apakah kesempatan untuk tersambung kembali akan datang lagi.

When we meet someone, we have to face the possibility that he/she might go. But not everybody. Some people would stay.

Who would stay, then?

People said, "your family".
Others added, "your bestfriend".
All said, "your beloved ones".


Well, I believe the one who stay might be the one who loves us, the one who cares, and the one whose life is also being fullfilled by us --- ideally. Or it just because the destiny said so. Who knows? :)



*************************************************************************************


"Doesn't have to be the perfect one, but have to fit you properly -- like when you're wearing clothes in the right size" ^^

Jumat, 10 September 2010

Why Do You Want To Become A Doctor?

Well, I thought the question above is especially for myself.

It’s been like a habit, I tend to write a note while I’m thinking about some random things in my insomnia night. And now, this question suddenly came up in my mind. Not in an exact random without reasons, because there’s a trigger before.


Jika anda bertanya pada dokter ataupun calon dokter mengenai pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, saya yakin anda akan menjumpai jawaban yang bervariasi. Sebagian akan menjawab “ingin menolong orang lain”, “cita-cita sejak kecil”, “harapan orang tua”, “profesi yang menjanjikan,” dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa di antara mereka mungkin menyimpan alasan-alasan dramatis seperti “ingin menyembuhkan penyakit yang menyerang orang tua saya” dan sejenisnya. Jujur, ketika seseorang bertanya mengenai alasan saya ingin menjadi seorang dokter, jawaban saya akan berkutat di contoh jawaban pertama dan kedua. Namun ketika saya mencoba memikirkannya kembali, ada sedikit keraguan menerpa. Benarkah itu jawabannya?

Ada berjuta (mudah-mudahan saya sedang tidak hiperbolis) profesi di dunia ini, dan sebagian besar di antaranya bisa membuka kesempatan untuk menolong orang lain. Then why do I have to choose to be “doctor”?

Bila beranjak ke alasan kedua, sesungguhnya jadi lebih membingungkan. Baiklah, memang sejak kecil saya sudah bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Tapi tentunya anda telah menyadari bahwa dokter tampaknya merupakan salah satu dari beberapa profesi favorit di kalangan anak-anak. Mungkin bagi mereka, sosok yang dapat menyembuhkan orang sakit tampak begitu mengagumkan. Pada kenyataannya, keputusan seseorang sembuh dari penyakitnya atau tidak berpulang kepada kehendak Sang Pencipta. Seorang dokter tidak bisa menjamin keberhasilan penyembuhan hingga 100%. Ia hanya bisa mengusahakan sesuai batas kemampuannya, berdasarkan ilmu yang telah direguk selama bertahun-tahun masa pendidikan dengan ditambah beberapa pengalaman langsung yang dijumpai.

Saya menjadi sedikit gamang, ketika profesi ini menjadi profesi yang kadangkala dielu-elukan, dispesialkan, dianggap ‘tinggi’, dan sejenisnya. Ibaratnya, anda harus menjadi sosok yang superior (dalam pengertian positif), dimana penguasaan ilmu memegang peranan, komunikasi yang baik kunci utama, dan ada sifat-sifat positif yang harus dijunjung.

Salah seorang dosen pernah berkata, bahwa jika mengejar materi semata, maka sesungguhnya profesi dokter bukanlah pilihan yang ideal. Karena pada hakikatnya profesi dokter adalah profesi yang begitu erat dengan sosial-kemanusiaan. Kita tidak bisa menentukan pasien mana yang harus menderita penyakit apa, dan penyakit bisa menyerang seseorang dalam situasi yang tak bisa kita pilih ataupun prediksi. Kita dapat mengambil contoh seperti bencana alam yang memakan begitu banyak korban jiwa dan korban luka-luka. Tidak etis rasanya bila seorang dokter hanya berpangku tangan melihat (bila kejadian itu masih dalam jangkauannya) karena tidak ada jaminan keuntungan materi akan diperolehnya bila ia turun tangan. Jika dilakukan dengan tulus, maka profesi ini akan menjadi ladang amal yang begitu luas – limpahan materi yang berkecukupan hanyalah bonus pemanis jika memungkinkan.

Nyatanya, saya belum bisa merasa benar-benar total untuk menolong orang lain. Bukan berarti saya tidak memiliki keinginan – setiap kali melihat seseorang tak berdaya akibat suatu penyakit, saya selalu tergerak untuk melakukan sesuatu, setidaknya untuk meringankan penderitaannya. Tapi, ada beberapa pengecualian. Seperti saat adik pertama saya merasa tidak enak badan (baca: kurang sehat), saya cenderung acuh-tak-acuh. Hm, mungkin acuh-tak-acuh bukan pilihan kata yang sesuai. Lebih tepatnya, saya justru menganggapnya sebagai hal yang agak menyebalkan. Alih-alih berempati dan berusaha membuatnya merasa lebih nyaman, saya justru meladeninya dengan gerutu. Entah mengapa, saya justru merasa terganggu dengan keluhan-keluhannya. Apalagi bila keluhan ini muncul di saat-saat yang tidak tepat – seperti di malam hari ketika saya sudah benar-benar lelah dan bersiap untuk tidur. Saya sering menganggapnya agak terlalu berlebihan dan memaksa. Dia terus menagih obat yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman – padahal saya tipikal orang yang tidak suka merekomendasikan obat-obatan. Prinsip saya, bila suatu penyakit atau gangguan kesehatan masih dapat diatasi tanpa obat, berarti obat itu memang tidak dibutuhkan. Tapi beberapa waktu belakangan saya jadi berpikir. Bagaimana bila nanti saya berjumpa dengan pasien yang jauh lebih tidak kooperatif dan memaksa, di situasi yang juga tidak saya harapkan? Apakah ini akan membuat saya setengah-setengah dalam anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana?

Berangkat dari “renungan” itu, saya merasa bahwa saya harus belajar untuk dapat lebih mengendalikan perasaan dan emosi.

Well, tampaknya topik tulisan ini telah benar-benar melompat dari yang seharusnya sejalan menurut judul. Namun, entah mengapa saya meyakini satu hal: walaupun alasan yang mendasari seseorang memilih atau melakukan sesuatu dapat turut menentukan seberapa kuat ia dapat menjalani langkah ke depan, pada akhirnya yang terbaik adalah menjalani keputusan yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya. Karena sekeras apapun kita berusaha memikirkan yang terjadi di masa lalu, tidak akan ada yang berubah dari masa itu. Sebaliknya, yang terpenting adalah menapaki jalan yang terbentang menuju masa depan....


*****

huff... lagi-lagi note yang random... >-<

Rabu, 02 Juni 2010

Happiness?

And they live happily ever after.

THE END.

...................................


Banyak cerita yang menyuguhkan kebahagiaan sebagai akhir cerita. Istilah “happy ending” tentunya amat melekat di benak kita semua. Namun apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri?

Orang-orang tampaknya begitu keras untuk mengejar kebahagiaan. Menjadikannya target utama dalam hidup, menjadi konklusi dari semua target yang ada dalam agenda mereka. Kisah yang begitu penuh perjuangan, mengharu biru, dan diwarnai penderitaan dianggap terbayarkan dengan adanya hasil akhir yang membahagiakan. Ibarat pepatah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Mereka tidak menyadari, bahwa sesungguhnya merasakan kebahagiaan bukan sepenuhnya monopoli episode akhir. Bahwa kebahagiaan bisa direngkuh bahkan pada titik “start”, dapat dirasakan dalam proses yang terus berjalan. Ya, kebahagiaan-kebahagiaan kecil namun istimewa sesungguhnya selalu mengelilingi kehidupan kita tanpa disadari. Ketika pagi ini kita masih bisa melihat senyum dari orang-orang terkasih – sesungguhnya satu poin kebahagiaan tengah kita peroleh. Ketika kita mendapati arus lalu lintas relatif lancar hari ini – kebahagiaan kembali menyapa. Ketika salah seorang teman menyadari kegundahan perasaan kita karena suatu masalah dan menawarkan bahunya – sesungguhnya satu poin lagi tengah bertambah. Ketika hal sederhana yang kita lakukan tampak berarti bagi orang lain hanya dengan seuntai “terima kasih” yang dikemas tulus – sesungguhnya kebahagiaan itu jelas terukir.

Kebahagiaan bukanlah suatu nilai yang terukur dengan nominal. Ia begitu kaya, dan tak akan pernah habis untuk dibagi.

Sejak dulu, saya selalu bermimpi untuk menjadi seseorang yang bahagia. Dan berharap kebahagiaan juga dirasakan oleh orang-orang di sekeliling saya. Nyatanya, perjalanan waktu semakin membuka mata saya, bahwa dunia ideal yang penuh kebahagiaan abadi hanyalah angan semu semata. Idealnya, saat seseorang merasa bahagia, kebahagiaan itu kemudian dapat menulari orang-orang di sekelilingnya. Dalam beberapa kesempatan, hal ini dapat terjadi – bayangkan sebuah acara ulang tahun yang dirayakan oleh seorang anak yang dipenuhi dengan sorak sorai dan gelak tawa bocah-bocah yang begitu antusias menikmati pesta. Sayangnya, ada kalanya dalam hidup ini kebahagiaan yang kita rasakan tidak sejalan dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Atau lebih buruk lagi – kebahagiaan bagi seseorang justru menjadi musibah bagi orang lainnya. Sesungguhnya ini adalah bentuk kebahagiaan yang paling tidak sehat. Masih layakkah ini disebut dengan kebahagiaan? Saya tidak akan mencoba menjustifikasi, karena ada banyak sekali variasi kasus yang mungkin terjadi, dan satu sama lainnya tidak dapat dipukul sama rata.

Satu hal yang sampai saat ini masih saya yakini adalah – walaupun tak ada kebahagiaan abadi di dunia ini – tapi kebahagiaan itu tetap ADA. Tidak perlu beranjak jauh atau berpelesir ke seberang samudera untuk meraihnya, karena sesungguhnya ia selalu ada – jauh di dalam lubuk hati kita. Ia hanya membutuhkan perspektif yang berbeda untuk dapat dilihat – dirasakan.

Karena terkadang kebahagiaan itu justru terbentang luas selama proses berlangsung, meski tersembunyi di balik ilalang dan batu kerikil masalah…

Have you found them?


**************


“We tend to forget that happiness doesn't come as a result of getting something we don't have, but rather of recognizing and appreciating what we do have.” – Frederick Keonig

Senin, 17 Mei 2010

Just Another Random Note...

Last night, in the middle of "sliding" the material for examination next Wednesday, one of my bestfriend suddenly appeared in yahoo-messanger. And as usual, we had a labile-girls-night-talk. At that time, she sent me a link of a story taken from one of her friends' blog that she really loved. I've just copied little part of it below, but just the part that I really like... ^-^

******

In love, we win very rarely, but when love is true, even if you lose, you still win just for having the tingle of loving someone more than you love yourself. There comes a time when we stop loving someone, not because that person has stopped loving us but because we have found out that, they’d be happier if we let go….

Why do we close our eyes when we sleep? When we cry? When we imagine? When we kiss? This is because THE MOST BEAUTIFUL THINGS IN THE WORLD ARE UNSEEN.

There are things that we never want to let go of, people we never want to leave behind, but keep in mind that letting go isn’t the end of the world.
It’s the beginning of a new life. Happiness lies for those who cry those who hurt, those who have searched and those who have tried. For only they can appreciate the importance of the people who have touched our 
lives.

A great love? It’s when you shed tears and still you care for them, it’s when they ignore you and still you long for them. It’s when they begin to love another and yet you smile and say, “I’m happy for you.” If love fails, set yourself free, let your heart spread its wings and fly again. Remember you may find love and lose it, but when love dies, you never have to die with it.

The strongest people are not those who always win but those who stand back up when they fall. Somehow, along the course of life, you learn about yourself and realize that there should never be regrets, only a lifelong appreciation of the choices you’ve made. Loving is not how you forget but how you forgive, not how you listen but how you understand, not what you see but how you feel, and not how you let go but how you hold on.

It’s more dangerous to weep inwardly rather than outwardly. Outward tears can be wiped away while secret tears scar forever…

It’s best to wait for the one you want than settle for one that’s available. It’s best to wait for the right one because life is too short to waste on just someone...

******

...On the way home, D-2 examination...

Minggu, 09 Mei 2010

I've Just Realized...

Agak lucu memang, tapi adik bungsu saya kini masih berusia 2 tahun - baru akan masuk playgroup di tahun ajaran mendatang. Bayangkan bagaimana reaksi orang yang melihat saya yang sudah mantap di usia kepala dua menggendong batita kecil yang bicaranya saja belum lancar. Wah, pastinya sering dikira ibu muda membawa anaknya jalan-jalan... ^-^

Banyak sekali tingkah polah menggemaskan yang dilakukan si kecil yang kadang suka berlagak bossy ini. Mulai dari menyebut susu dengan sebutan "ais", memanggil mbak pengasuhnya dengan sebutan "ndut", hingga bergoyang-goyang (baca: joget) tak jelas saat mendengar alunan musik.

Tapi satu perilaku "ajaib" yang paling berkesan bagi saya adalah apa yang dia lakukan hari ini - yang sebenarnya juga pernah beberapa kali dia lakukan di waktu-waktu sebelumnya. Begitu saya sampai ke rumah (pulang dari kampus), dia langsung berlari ke arah saya, merengek minta digendong. Seisi rumah hanya tertawa heran, setengah meledek dia terlalu kangen sama mbaknya yang sering terlalu sibuk di luar rumah hingga jarang menemani ia bermain. Saya hanya tersenyum menanggapi, menyambut tangan mungilnya, mengangkat tubuhnya hingga kepalanya menempel di bahu saya. Namun rupanya pelukannya tak kunjung mengendur setelah beberapa saat. Dia menolak untuk melepaskan diri. Kepalanya terus menempel di pundak saya, dengan ekspresi setengah mengantuk - bukan ekspresi penuh semangat. Awalnya saya berpikir sebentar lagi dia akan tertidur - tapi rupanya tidak. Dia terus menerus membuka mata, tanpa mengoceh sepatah kata pun. Hanya diam, seakan menikmati ketenangan untuk beberapa saat. Ah, padahal saat itu benak saya tengah diliputi kegalauan. Ada masalah yang cukup menyita pikiran dan emosi, yang membuat saya pulang ke rumah dengan kepala mumet. Lucunya, benang kusut seakan perlahan mengurai setelah saya menggendong si kecil ini. Seperti sedang terapi relaksasi. ^-^

Saya jadi teringat, bahwa kejadiaan ini bukan pertama kalinya. Dulu, saat saya sedang dilanda problem yang cukup pelik, si adik juga menunjukkan gelagat yang sama. Mendadak menatap penuh arti dan minta digendong (cuma dengan kata-kata singkat: "ndong!). Terus menempel, tak mau dilepas. Agak pegal, memang... :)

Kalau boleh menebak-nebak ngawur, si adik sepertinya paham kalau mbaknya sedang ada masalah, dan mencoba menghibur dengan caranya sendiri. Setengah iseng, saya berbisik ke telinganya dan bertanya: "Adek, kamu mau hibur mbak, ya?" Dan dia mengangguk polos - padahal mungkin dia sama sekali tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Tetap saja, bagi saya ini adalah sesuatu yang sangat menentramkan.

Hehehe...
Bayi dan anak-anak memang manis, ya? ^-^


Senin, 03 Mei 2010

Between Remembering and Forgetting...

"Ra, kacamatanya mana?"

"Kacamata apa, ya, Bun?"

"Lho, tadi kan Bunda minta diambilin kacamata baca pas kamu sekalian ke kamar..."

"Eh..."

"Pasti lupa, kan?"

"Hehehe... iya, maaf ya..."


******


"Aduh, kok kameranya ga ada, ya?"

"Kamu terakhir taronya dimana? Suka slordeh sih kamu..."

"Benar-benar ga inget, Yah..."


******

"Eh, dia dulu teman SMP kita, ya? Anak kelas sebelah?"

"Siapa?"

"Itu lho, yang berdiri di ujung sana... Bener, kan?"

"Aduh, gw ga yakin..."

"Loe lupa? Rambutnya dulu sering dikuncir kuda, pake kawat gigi. Namanya XXX sesuatu. Inget?"

"I really have no idea who she is..."

******

et cetera. et cetera. et cetera.


******


Di dunia ini, "lupa" telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Selama kita masih dapat "mengingat", maka kita akan terus dihantui risiko "melupakan". Manusia boleh jadi memiliki jutaan - atau mungkin milyaran sel otak di dalam kepalanya. Namun, ibarat kotak penyimpanan, ruang memori tentunya memiliki suatu limit, suatu batas kemampuan. Kita tidak bisa serta-merta memasukkan semua hal ke dalamnya, hanya beberapa hal yang dianggap penting dan dibutuhkanlah yang akan mengisi.

Daya lupa ini mungkin diciptakan sebagai penyeimbang agar otak manusia tidak terlalu lelah dan rumit dalam menyimpan berbagai bank data. Agak sulit memang untuk mengatur fungsi yang satu ini. Bayangkan saja bagaimana mereka harus memilah milih informasi penting dari jutaan lebih informasi yang berseliweran setiap harinya. Ada kondisi dimana kita berharap akan terus dapat mengingat sesuatu (seperti saat ujian) atau sebaliknya, kita bersikeras untuk melupakan sesuatu (umumnya menyangkut hal-hal yang menyakitkan).

Kadang, tanpa kita sadari kita justru dengan mudah melupakan hal-hal yang seharusnya kita ingat. Atau justru terus teringat hal-hal yang sangat ingin kita lupakan. Agak ironis, memang. But that so human.

Saya jadi teringat sebuah quote: "Trying to forget someone that you love is like trying to remember someone you never met." Yup, ketika kita semakin keras berusaha melupakan sesuatu, kita justru akan semakin mengingatnya. Karena dalam benak kita akan terus tertuliskan "saya harus melupakan YYY... saya harus melupakan YYY..." yang terus menerus berulang, hingga tanpa sadar kita sebenarnya tengah menerapkan metode repetisi - pengulangan untuk memantapkan memori. Jadi, ketika kita benar-benar ingin melupakan sesuatu, cara terbaik adalah tidak memikirkannya sama sekali. Alihkan fokus ke hal-hal lain yang lebih positif. Maka tiba-tiba saja kita telah menjumpai diri kita telah melenggang santai, dan telah benar-benar lupa tentang hal itu. Atau walaupun kita tidak melupakannya, setidaknya hal itu tidak lagi menjadi masalah...

So... how about you, then? Think the same way? ^-^

*well, don't take it too serious, because it's just another random talk note in the middle of the night...

Senin, 26 April 2010

Crossroad...




Pernahkah anda berada di tengah persimpangan - entah pertigaan atau perempatan atau bahkan lebih banyak cabang - dan menjumpai diri anda bingung memilih rute yang akan dilewati? Mungkin pertanyaan yang agak retoris, mengingat analogi semacam ini banyak dijumpai aplikasinya dalam kehidupan nyata. Sebut saja contoh sederhana ketika pagi hari anda selesai mandi dan bergegas menuju lemari yang penuh berisi pakaian. Anda, sadar atau tidak, tentu akan berpikir: pakaian apa yang sebaiknya saya kenakan hari ini?

Banyak orang bilang, hidup itu pilihan. Kalau menurut saya, hidup itu adalah tentang memilih. Dari sejuta opsi yang tersaji di depan mata, manakah pilihan yang kita ambil? Beberapa pilihan boleh jadi mudah ditentukan atau tidak sulit diputuskan. Namun, banyak diantaranya menguras cukup banyak waktu, pikiran, tenaga, bahkan emosi hanya untuk membuat suatu keputusan; sebuah pilihan.

Setiap pilihan tentunya membawa konsekuensi tersendiri. Ketika kita telah merasa cukup berani untuk memutuskan, artinya kita harus bersiap dengan segala risiko yang ada di balik setiap pilihan. Salah seorang teman mengajarkan saya bahwa menyesali suatu keputusan adalah suatu pantangan. Karena sekedar penyesalan hanyalah suatu kesia-siaan, dan beratnya dampak dari suatu keputusan merupakan "satu paket" yang tidak terpisahkan dari pilihan itu sendiri.

Kehidupan ini ibarat suatu perjalanan panjang, dimana tidak ada arah putar balik. Sekali melaju, kita tidak dapat kembali ke titik yang telah kita tinggalkan. Maka ketika kita menyadari bahwa kita memilih jalan yang salah, yang bisa kita lakukan adalah segera mencari persimpangan lainnya untuk mengubah haluan. Bukan untuk berputar ke belakang, melainkan untuk kembali melanjutkan ke jalan yang sesuai.

Saya sendiri pernah mengalami fase yang cukup rumit dimana saya mulai menyadari bahwa jalan yang tengah saya lalui begitu kompleks. Laksana berjalan di antara taman bunga yang begitu indah menawan, namun entah mengapa nafas terasa sesak karena oksigen yang begitu tipis. Ketika akhirnya persimpangan itu datang lagi, saya memutuskan untuk memilih jalan lain. Ya, akhirnya kelegaan menyambut, menghirup udara terasa begitu menyegarkan. Namun, tak lama sesudahnya saya segera menyadari - hanya kekosongan yang menghampar luas di sekeliling perjalanan ini, ladang tandus yang jauh dari keindahan. Seketika terasa ada lubang besar yang muncul, seperti ada sesuatu yang benar-benar mengganjal...

Bagaimanapun, kita telah dibekali akal untuk dapat menimbang suatu pilihan dengan logika. Jikalau hati telah menunjukkan suatu keputusan, otak dengan sendirinya akan mulai memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul. Maka seyogyanya pilihan yang kita ambil ini adalah keputusan yang dihasilkan dari pertimbangan matang, bukan karena tekanan atau emosi sesaat.

Sayangnya, berteori dan berkata-kata jauh lebih mudah dibandingkan mewujudkannya dalam realita...



... just another weird note of mine, though...

Rabu, 14 April 2010

Amazing Beauty...





You can call it "rainbow", "iris", "bianglala", or "pelangi"...

But remember...



"Jika kau menginginkan pelangi, maka kau harus siap menghadapi hujan..."-- one of my fave quote --

Jumat, 02 April 2010

Being 20 Something Is Hard?

Banyak orang bilang, perjalanan waktu – baik disadari atau tidak – perlahan akan membawa seseorang menjadi sosok yang berbeda. Berubah menjadi lebih baik, melenceng menjadi lebih buruk, atau bahkan perubahan yang tak dapat didefinisikan sebagai suatu perbaikan atau perburukan – ibarat mengganti warna seprai tempat tidur antara hijau dan biru, warna yang satu tak lebih indah dari yang lainnya – hanya memberikan nuansa yang “lain”.

Contoh sederhananya: jika zaman SD dulu kita memiliki seorang teman yang sangat lincah, ceria, dengan wajah bulat kekanakan – bukan hal mengejutkan bila saat ini, beberapa tahun kemudian, ia telah tumbuh menjadi sosok dengan pembawaan yang jauh lebih tenang dan wajah nyaris tidak dapat dikenali lagi.

Ya, waktu memang telah begitu lama menjadi sahabat karib perubahan. Karena saya percaya, people need time to change. Perubahan bukanlah suatu hal yang instan, bila kau menginginkannya sebagai suatu hal yang persisten.

Seperti ulat bulu...



yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu...



Jika saja yang menjumpai hal yang tengah saya alami saat ini adalah sosok diri saya beberapa tahun lalu yang masih begitu rapuh dan labil, mungkin sekarang saya akan mendapati diri saya tengah mengunci diri di kamar, sibuk meratapi permasalahan yang tengah saya alami, menyesali apa-apa yang sudah terjadi. Tapi… saya yang sekarang sudah terlalu lelah dengan itu semua. Menangis mungkin bisa menjadi cara positif untuk meluapkan emosi tanpa mengusik orang lain, tapi membiarkan kelenjar lakrimalismu bekerja keras tidak akan bisa menguraikan benang kusut di hadapanmu. You have to wipe your tears quickly and move on. Hidup terlalu berharga untuk diisi dengan penyesalan semata.

Saat kita telah menjadi seseorang yang dewasa secara usia – secara tidak langsung kita dipaksa untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh menjalani kehidupan. Tidak ada lagi rengekan ala anak-anak saat segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Apapun keputusan yang kita ambil, kita harus siap menerima segala konsekuensi yang menanti di baliknya, seberapapun pahitnya itu. Karena segala sesuatu itu adalah pembelajaran bagi kita.

Ketika kita menerima, kita belajar untuk memberi…
Ketika kita merasa sakit, kita belajar untuk tidak menyakiti…
Ketika kita tertawa, kita belajar untuk berbagi kebahagiaan…
Ketika kita terjatuh, kita belajar untuk segera bangkit…
Ketika kita marah, kita belajar untuk mengendalikan emosi…
Ketika kita kecewa, kita belajar untuk memberikan yang terbaik…
Ketika kemalangan dan kesedihan menerpa, kita belajar untuk mengambil hikmah darinya…
Karena kita tengah belajar di sekolah terbaik di dunia, kawan…
Dan sekolah terbaik itu… bernama “kehidupan”…

*****


Dalam beberapa hari ke depan, angka usia saya di dunia ini akan bertambah satu. Pertambahan angka yang tentunya berbanding lurus dengan berkurangnya jatah kehidupan saya di dunia fana ini. Saya menyadari, selama dua puluh tahun kehidupan yang saya jalani, masih banyak kekhilafan yang saya lakukan. Setahun belakangan ini telah menjadi masa yang penuh warna dan cerita, mulai dari yang membahagiakan hingga yang menorehkan kesedihan – hal yang amat sangat saya syukuri bisa saya rengkuh dengan penuh suka cita. Namun, sebagai pribadi rasanya masih banyak kesempatan baik yang saya lewatkan – hal-hal yang sebenarnya bisa saya perjuangkan dengan lebih baik.

Semoga Allah masih mengizinkan saya untuk melangkah ke depan, menjadi pribadi yang lebih baik. Kesempurnaan bagi manusia memang suatu kemustahilan, tapi mengupayakan yang terbaik adalah kewajiban kita sebagai seorang manusia.

Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu tidak berusaha untuk mengubah nasibnya sendiri?

Minggu, 28 Maret 2010

TIGA





I really love number 3.
If you ask why – well my answer will be this simple: “I dunno”.
It’s because I really have no idea, what exactly the main reason that makes me like this number. Maybe it’s just like when people have their own favorite color. Just love it, without knowing why and how it started.

Sebagai turunannya, saya paling suka tanggal 3 Maret. Mungkin karena ini merujuk pada hari ke-3 di bulan ke-3. Tanpa ada agenda spesial di hari itu. Just an ordinary day.

Entah kenapa, ketika satu terasa membahagiakan, kelipatannya justru berkebalikan. Kemarin – tanggal 27 Maret, yang secara asal-asalan saya polakan sebagai (3.3.3)3 – terasa sebagai hari yang sangat berat dan melelahkan. Baik jiwa maupun raga. Untuk alasan yang tidak bisa saya tuangkan dalam tulisan ini.

Mau tidak mau, saya jadi teringat cerita pendek karya Dee dalam salah satu buku favorit saya (Filosofi Kopi) yang berjudul “Mencari Herman”. Kutipan di bagian akhir cerita itu tiba-tiba saja muncul dalam benak liar saya yang mengelana, tepat ketika bola mata menangkap tulisan angka “27 Maret” di layar komputer saya….

“Jika kau menginginkan satu, jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan…”

Dua hal ini (kutipan dari cerita dan keresahan yang saya alami kemarin) sebenarnya tidak memiliki benang merah secara eksplisit. Tapi entah kenapa saya tergelitik untuk menuangkannya di postingan blog. Mungkin ini hanya salah satu pelampiasan saya – antara sadar dan tidak mau menyadari – di sela kejenuhan mengerjakan tugas-tugas. Mungkin…



...tampaknya beberapa waktu belakangan postingan di blog ini semakin tak jelas saja...

Sabtu, 27 Maret 2010

I Remember...


I remember...
The way you glanced at me, yes I remember
I remember...
When we caught a shooting star, yes I remember
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Do you remember... ?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember...
When my father thought you were a burglar
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

I remember...
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me,
yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember


(lyric by: Mocca)



***************


Tiba-tiba saja, saat gemericik hujan terdengar di luar sana, saya teringat lagu ini. What a sweet song, with simple but wonderful words... The sad thing is, the lyric is using "remember", seems like it just an unforgettable memory that happened in the past but already far away from this moment... :(




Sabtu, 13 Maret 2010

Road of Life


Berjalan melewati rerumputan hijau, berkubahkan pelangi...

Where and when the road will ended?

Marriage


Ehm, setelah sekian lama tidak menyetor tulisan di blog, mengapa saya tiba-tiba mengangkat judul di atas sebagai tema?

Sepertinya krisis paruh-baya dini mulai melanda.
Hahaha…

Sejak mulai menginjak usia kepala dua, entah kenapa saya mendapati satu-persatu orang di sekitar yang sebaya dengan saya memutuskan untuk menikah. Mulai dari sepupu, anak teman orangtua saya, teman sekolah (bukan kuliah), bahkan teman adik saya. Beberapa di antaranya amat-sangat bisa dimaklumi (memang sudah terbilang mapan, usia mendukung, insya Allah siap lahir-batin ^-^). Beberapa di antaranya cukup mengejutkan dan menimbulkan kehebohan. (Yah ini mungkin respon denial sesaat saya karena tidak menyangka beberapa orang ini akan menikah secepat itu) Masih terbayang dengan sangat jelas, satu di antaranya memiliki tingkah-polah kekanakan, bahkan sudah seperti adik saya sendiri. Yang satu lagi saya kenal baik jaman kecil dulu – masih terbayang sosok mungil berkaus singlet yang kadang-kadang masih suka ngedot susu. Yup, minum susu botol ala bayi. Dan tiba-tiba, setelah sekian lama tak berjumpa, selembar (ups ralat, seamplop) undangan pernikahannya di pertengahan tahun ini dikirimkan ke rumah saya. Huaaaaa… *Shocked >-<


Antara salut, bingung, takjub, geleng-geleng kepala mendapati mereka yang begitu berani memutuskan untuk mengawali kehidupan pernikahan di usia yang masih sangat muda. Saat saya masih pontang-panting mengurus diri sendiri (di sela kegiatan kampus baik akademis dan non-akademis plus aktivitas-aktivitas berbasis kepentingan pribadi), mereka sudah ditantang untuk mengurus keluarga (suami, anak --> ditambah mertua, mungkin? Hehehe :)). Dan lucunya, pertanyaan keramat nan iseng mulai bermunculan: “Kapan nyusul?” Hyaaaa… boro-boro atuh pakde, bude, om, tante… Ini kuliah belum beres, riset belum maju sidang, ujian masih terseok-seok, plus kekurangan sana-sini yang masih butuh tambalan. Intinya: saya belum siap! Cuma itu? Tentu tidak. Calonnya juga belum jelas. Hahaha… *sepertinya akan sulit menjumpai orang dengan modal tekad yang nekat menembus “barikade” yang terpasang mengelilingi benteng. But like one of Taylor Swift’s lyric says: “…cause I’m not a princess. And this isn’t fairy tale…”, so there isn’t any prince or white horse.

Ok, cukup introduksi tak jelasnya.
Let’s just continue talking about the thing called “marriage”.

Menurut Wikipedia (sumber yang amat sangat tidak direkomendasikan untuk referensi tulisan ilmiah dan sejenisnya tapi sah-sah saja sebagai rujukan blog iseng-iseng), Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Hukum agama --> akad nikah bagi yang beragama muslim; negara --> buku dan akte nikah (atau sejenisnya, saya kurang paham); dan adat --> prosesi-prosesi khas yang biasanya berjalan serangkaian mulai dari lamaran hingga resepsi (maklum, budaya daerah di Indonesia masih sangat kental). Poin terakhir inilah yang biasanya paling menyita banyak waktu, tenaga, pikiran, dan (tentu saja) uang. Bayangkan saja, dalam sekali resepsi ada berapa banyak anggota keluarga besar dan kerabat yang diundang (lagi-lagi, ini budaya tak tertulis di negara kita).. Menyewa gedung berdekorasi khusus dan memesan katering dengan aneka menu sudah jadi hal yang lumrah. Tak jarang, ini menjadi ajang menunjukkan gengsi keluarga (side effect, main effect-nya katanya kan silaturahmi dan berbagi kebahagiaan ^-^) Bisa-bisa uang tabungan untuk biaya hidup setelah menikah malah terkuras habis-habisan di hari pernikahan. Nah lho… *Nggak juga deng, kan tergantung kemampuan juga. Dan biasanya dana ini cenderung ditanggung orangtua si mempelai…

Jika dongeng-dongeng seringkali menjadikan pernikahan sebagai “happy-ending”, nyatanya tidak demikian di kehidupan nyata. Pernikahan justru awal, babak baru dalam perjalanan kehidupan.

There is one quote about marriage that I really love:
“Marriage is not a noun; it’s a verb. It isn’t something you get. It’s something you do. It’s the way you love your partner everyday”
– Barbara de Angelis –

And yes, it’s not the end. It’s just the beginning of another story. ^-^

Kisah yang alurnya tidak bisa ditebak, tergantung bagaimana si pelakon memainkan jalinan ceritanya. Bayangkan saja, bagaimana pernikahan secara “mengikat” mempersatukan dua kepala berbeda untuk menjalani satu visi yang sama: a happy marriage. Well, some people say it’s about understanding and receiving. But I think it’s a lot more than that.

Dan tentunya, kisah itu akan semakin indah dan sempurna bila diwarnai dengan tangis dan tawa dari tubuh-tubuh mungil yang menggeliat lincah meramaikan suasana kebahagiaan di rumah. Yup, I’m talking about the children. Kalau kata salah satu petugas TU yang jadi langganan mampir anak-anak di kampus saya (sebut saja mbak E, nama sebenarnya disamarkan untuk melindungi privasi beliau. Hehehe), salah satu tujuan pernikahan ya untuk memperoleh keturunan. Kalau menikah tapi sok-sokan menunda kehamilan atau ikut program KB di awal… mending ga usah nikah dulu aja, atuh! (ini kata si mbak lho, bukan saya. Peace ^-^)


Intinya…

Buat teman-teman yang sudah menikah, semoga pernikahannya langgeng…

Buat teman-teman yang akan menikah, semoga urusannya dilancarkan…

Buat teman-teman yang ngebet nikah (ehm ehm), yang sabar ya… hahaha (dan semoga bisa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya)

Buat teman-teman yang (katanya) tidak mau menikah (entah karena desperado atau dapat ilham dari antah berantah)… semoga dibukakan pintu hatinya *peace


*****

...saturday night note, 13.03.2010...