Minggu, 28 Maret 2010

TIGA





I really love number 3.
If you ask why – well my answer will be this simple: “I dunno”.
It’s because I really have no idea, what exactly the main reason that makes me like this number. Maybe it’s just like when people have their own favorite color. Just love it, without knowing why and how it started.

Sebagai turunannya, saya paling suka tanggal 3 Maret. Mungkin karena ini merujuk pada hari ke-3 di bulan ke-3. Tanpa ada agenda spesial di hari itu. Just an ordinary day.

Entah kenapa, ketika satu terasa membahagiakan, kelipatannya justru berkebalikan. Kemarin – tanggal 27 Maret, yang secara asal-asalan saya polakan sebagai (3.3.3)3 – terasa sebagai hari yang sangat berat dan melelahkan. Baik jiwa maupun raga. Untuk alasan yang tidak bisa saya tuangkan dalam tulisan ini.

Mau tidak mau, saya jadi teringat cerita pendek karya Dee dalam salah satu buku favorit saya (Filosofi Kopi) yang berjudul “Mencari Herman”. Kutipan di bagian akhir cerita itu tiba-tiba saja muncul dalam benak liar saya yang mengelana, tepat ketika bola mata menangkap tulisan angka “27 Maret” di layar komputer saya….

“Jika kau menginginkan satu, jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan…”

Dua hal ini (kutipan dari cerita dan keresahan yang saya alami kemarin) sebenarnya tidak memiliki benang merah secara eksplisit. Tapi entah kenapa saya tergelitik untuk menuangkannya di postingan blog. Mungkin ini hanya salah satu pelampiasan saya – antara sadar dan tidak mau menyadari – di sela kejenuhan mengerjakan tugas-tugas. Mungkin…



...tampaknya beberapa waktu belakangan postingan di blog ini semakin tak jelas saja...

Sabtu, 27 Maret 2010

I Remember...


I remember...
The way you glanced at me, yes I remember
I remember...
When we caught a shooting star, yes I remember
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Do you remember... ?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember...
When my father thought you were a burglar
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

I remember...
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me,
yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember


(lyric by: Mocca)



***************


Tiba-tiba saja, saat gemericik hujan terdengar di luar sana, saya teringat lagu ini. What a sweet song, with simple but wonderful words... The sad thing is, the lyric is using "remember", seems like it just an unforgettable memory that happened in the past but already far away from this moment... :(




Sabtu, 13 Maret 2010

Road of Life


Berjalan melewati rerumputan hijau, berkubahkan pelangi...

Where and when the road will ended?

Marriage


Ehm, setelah sekian lama tidak menyetor tulisan di blog, mengapa saya tiba-tiba mengangkat judul di atas sebagai tema?

Sepertinya krisis paruh-baya dini mulai melanda.
Hahaha…

Sejak mulai menginjak usia kepala dua, entah kenapa saya mendapati satu-persatu orang di sekitar yang sebaya dengan saya memutuskan untuk menikah. Mulai dari sepupu, anak teman orangtua saya, teman sekolah (bukan kuliah), bahkan teman adik saya. Beberapa di antaranya amat-sangat bisa dimaklumi (memang sudah terbilang mapan, usia mendukung, insya Allah siap lahir-batin ^-^). Beberapa di antaranya cukup mengejutkan dan menimbulkan kehebohan. (Yah ini mungkin respon denial sesaat saya karena tidak menyangka beberapa orang ini akan menikah secepat itu) Masih terbayang dengan sangat jelas, satu di antaranya memiliki tingkah-polah kekanakan, bahkan sudah seperti adik saya sendiri. Yang satu lagi saya kenal baik jaman kecil dulu – masih terbayang sosok mungil berkaus singlet yang kadang-kadang masih suka ngedot susu. Yup, minum susu botol ala bayi. Dan tiba-tiba, setelah sekian lama tak berjumpa, selembar (ups ralat, seamplop) undangan pernikahannya di pertengahan tahun ini dikirimkan ke rumah saya. Huaaaaa… *Shocked >-<


Antara salut, bingung, takjub, geleng-geleng kepala mendapati mereka yang begitu berani memutuskan untuk mengawali kehidupan pernikahan di usia yang masih sangat muda. Saat saya masih pontang-panting mengurus diri sendiri (di sela kegiatan kampus baik akademis dan non-akademis plus aktivitas-aktivitas berbasis kepentingan pribadi), mereka sudah ditantang untuk mengurus keluarga (suami, anak --> ditambah mertua, mungkin? Hehehe :)). Dan lucunya, pertanyaan keramat nan iseng mulai bermunculan: “Kapan nyusul?” Hyaaaa… boro-boro atuh pakde, bude, om, tante… Ini kuliah belum beres, riset belum maju sidang, ujian masih terseok-seok, plus kekurangan sana-sini yang masih butuh tambalan. Intinya: saya belum siap! Cuma itu? Tentu tidak. Calonnya juga belum jelas. Hahaha… *sepertinya akan sulit menjumpai orang dengan modal tekad yang nekat menembus “barikade” yang terpasang mengelilingi benteng. But like one of Taylor Swift’s lyric says: “…cause I’m not a princess. And this isn’t fairy tale…”, so there isn’t any prince or white horse.

Ok, cukup introduksi tak jelasnya.
Let’s just continue talking about the thing called “marriage”.

Menurut Wikipedia (sumber yang amat sangat tidak direkomendasikan untuk referensi tulisan ilmiah dan sejenisnya tapi sah-sah saja sebagai rujukan blog iseng-iseng), Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Hukum agama --> akad nikah bagi yang beragama muslim; negara --> buku dan akte nikah (atau sejenisnya, saya kurang paham); dan adat --> prosesi-prosesi khas yang biasanya berjalan serangkaian mulai dari lamaran hingga resepsi (maklum, budaya daerah di Indonesia masih sangat kental). Poin terakhir inilah yang biasanya paling menyita banyak waktu, tenaga, pikiran, dan (tentu saja) uang. Bayangkan saja, dalam sekali resepsi ada berapa banyak anggota keluarga besar dan kerabat yang diundang (lagi-lagi, ini budaya tak tertulis di negara kita).. Menyewa gedung berdekorasi khusus dan memesan katering dengan aneka menu sudah jadi hal yang lumrah. Tak jarang, ini menjadi ajang menunjukkan gengsi keluarga (side effect, main effect-nya katanya kan silaturahmi dan berbagi kebahagiaan ^-^) Bisa-bisa uang tabungan untuk biaya hidup setelah menikah malah terkuras habis-habisan di hari pernikahan. Nah lho… *Nggak juga deng, kan tergantung kemampuan juga. Dan biasanya dana ini cenderung ditanggung orangtua si mempelai…

Jika dongeng-dongeng seringkali menjadikan pernikahan sebagai “happy-ending”, nyatanya tidak demikian di kehidupan nyata. Pernikahan justru awal, babak baru dalam perjalanan kehidupan.

There is one quote about marriage that I really love:
“Marriage is not a noun; it’s a verb. It isn’t something you get. It’s something you do. It’s the way you love your partner everyday”
– Barbara de Angelis –

And yes, it’s not the end. It’s just the beginning of another story. ^-^

Kisah yang alurnya tidak bisa ditebak, tergantung bagaimana si pelakon memainkan jalinan ceritanya. Bayangkan saja, bagaimana pernikahan secara “mengikat” mempersatukan dua kepala berbeda untuk menjalani satu visi yang sama: a happy marriage. Well, some people say it’s about understanding and receiving. But I think it’s a lot more than that.

Dan tentunya, kisah itu akan semakin indah dan sempurna bila diwarnai dengan tangis dan tawa dari tubuh-tubuh mungil yang menggeliat lincah meramaikan suasana kebahagiaan di rumah. Yup, I’m talking about the children. Kalau kata salah satu petugas TU yang jadi langganan mampir anak-anak di kampus saya (sebut saja mbak E, nama sebenarnya disamarkan untuk melindungi privasi beliau. Hehehe), salah satu tujuan pernikahan ya untuk memperoleh keturunan. Kalau menikah tapi sok-sokan menunda kehamilan atau ikut program KB di awal… mending ga usah nikah dulu aja, atuh! (ini kata si mbak lho, bukan saya. Peace ^-^)


Intinya…

Buat teman-teman yang sudah menikah, semoga pernikahannya langgeng…

Buat teman-teman yang akan menikah, semoga urusannya dilancarkan…

Buat teman-teman yang ngebet nikah (ehm ehm), yang sabar ya… hahaha (dan semoga bisa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya)

Buat teman-teman yang (katanya) tidak mau menikah (entah karena desperado atau dapat ilham dari antah berantah)… semoga dibukakan pintu hatinya *peace


*****

...saturday night note, 13.03.2010...