Jumat, 29 Juli 2011

What if...

Dalam angan-angan terliar, saya pernah membayangkan ingin menjadi seorang psikopat yang tidak memiliki perasaan. Pikiran yang bodoh, karena hanya atas dasar pertimbangan seorang psikopat tidak akan merasakan kesedihan, kekecewaan, ataupun perasaan bersalah. Membuang segala bentuk ekspresi emosi yang seringkali menyesatkan pikiran.

But the fact is...
Being a psychopath doesn't solve your problems, although you've lost all senses of feeling.
Just face it bravely, maturely.

We can't forced everybody to loves us, but we can let them to decide. Just start it with loving others first, and try to do the best thing you can. Let Allah takes the rest...

Rabu, 18 Mei 2011

Quotes (1)

Well, there are some of quotes I got these days. All of them are beautiful yet meaningful. This half part from the poem "10 Things I Hate About You" is one of my fave :)


*****



I hate the way you’re always right,

I hate it when you lie.

I hate it when you make me laugh,

even worse when you make me cry.

I hate it when you’re not around,

and the fact that you didn’t call.

But mostly I hate the way I don’t hate you,

not even close…

not even a little bit…

not even at all.

Looking At The Sky

Chin up!”

“Maksudnya?”

“Dagunya diangkat ke atas. Kayak menengadah ke atas. Karena biasanya ketika ketika kita sedih, kita akan cenderung menunduk dan airmata akan lebih mudah mengalir…”

-dikutip dari konversasi singkat dengan salah seorang sahabat suatu malam, dengan sedikit perubahan-


*****


Pernahkah kamu merasa sedih?
Bila sedang dirundung kesedihan, apa yang biasanya kamu lakukan?

Setiap manusia yang dibekali perasaan sebagai teman setia akal tentunya pernah merasa sedih. Dari mulai kesedihan dalam kadar minimal hingga kesedihan yang berdampak pada kestabilan psikis, berujung pada depresi dan gangguan jiwa.
Kesedihan biasanya lahir karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Saat kita mengharap keberhasilan dan ternyata kegagalan yang dijumpai, kita bersedih. Saat kehilangan seseorang yang kita damba akan berada di sisi kita untuk selamanya, kita bersedih. Saat tiba-tiba tubuh tergeletak lemah karena penyakit sementara kita berharap senantiasa sehat, kita pun bersedih. Ada begitu banyak alasan, beragam sebab, yang dapat memicu timbulnya kesedihan.

Bukan, bukan “mengapa kamu bersedih” yang ingin saya angkat. Setiap orang punya cerita tersendiri di balik tiap raut wajah yang mengerut pilu, airmata yang membanjiri kedua pipi, dan tiap isakan yang membuat tenggorokan seperti terjepit. Berbeda waktu, berbeda individu, berbeda masalah. Terlalu variatif dan luas untuk dibahas.

Yang ingin saya singgung adalah mengenai “apa yang kamu lakukan saat kamu bersedih”.
Apakah kamu menangis?
Saya secara jujur mengakui bahwa saya tergolong pribadi yang mudah mengeluarkan airmata setiap merasa sedih. Dan mungkin begitu pula jutaan (bahkan milyaran) manusia lainnya, khususnya individu dengan kromosom XX (ya, maksud saya kaum wanita). Bukan berarti saya mengatakan bahwa wanita itu lemah. Prinsip saya, tangisan bukanlah tanda kelemahan. Ini hanyalah salah satu cara pelampiasan emosi yang relatif ‘aman’, karena tidak akan melukai orang lain (setidaknya, tidak secara fisik). Tapi, tentunya tidak setiap waktu dan tempat bisa menjadi kesempatan yang sesuai untuk menerapkan langkah ini. Bayangkan ketika kita berada di tengah kerumunan orang. Apakah menyenangkan menjadi pusat perhatian karena kita tiba-tiba menangis seperti orang frustasi di tengah mereka? Rasanya tidak.

Jika sudah begitu, saya biasanya punya langkah jitu. Saya akan segera memandang ke arah langit. Bukan langit-langit, tapi langit sungguhan. Akan jauh lebih baik bila itu adalah langit biru yang cerah di pagi ataupun siang hari. Bagi saya, langit selalu punya pesona tersendiri. Langit fajar, pagi-siang, senja, ataupun malam punya kesan masing-masing. Dan khusus untuk ‘penentram’ kesedihan, langit biru bersih di pagi-siang menjadi sahabat terbaik saya. Ini menjadi ritual yang sayangnya tanpa sadar sudah saya tinggalkan – entah sejak bangku SMA atau kuliah, saya tidak begitu yakin.

Dulu, saya bisa begitu antusias hanya dengan duduk di ruang kelas yang bisa menghadap jendela, atau berdiri santai di beranda depan kelas di lantai dua atau tiga. Memandang ke arah langit biru, dengan gradasi biru muda dan indigo yang dihiasi gumpalan awan.

Sebaliknya, langit mendung bisa jadi partner-in-crime kesedihan. Bukan hanya suasana hati yang kelabu, tapi juga langit. Rasa-rasanya hujan yang turun dengan mudah beradu dengan tangisan yang mengalir dari pelupuk mata. Terlebih, saya tidak suka (dan takut) petir. Jadi… ritual ‘memandang langit’ untuk mengatasi kesedihan tidak berlaku saat cuaca tidak bersahabat.

Saya teringat kembali mengenai kebiasaan lama ini beberapa waktu lalu, ketika sedang terlibat konversasi dunia maya dengan salah seorang sahabat. Entah kenapa, topik malam itu berkutat ke arah hal-hal melankolis dan semacamnya. Hingga sahabat saya berkata,

“Coba… hmm chin up aja, Ra. Chin up!”

Chin up? Langsung terbayang gerakan head tilt dan chin lift di benak saya – salah satu langkah dasar untuk membuka jalan napas pada pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar.

Sahabat saya tertawa ringan (terwakili dengan ketikan kata-kata dan emoticon ‘laughing’) ketika saya mengungkapkan apa yang muncul dalam pikiran saya mengenai ucapannya.

“Ya… prinsipnya begitu, ya. Dagunya kayak diangkat ke atas, menengadah ke atas. Karena biasanya kalau kita lagi sedih, kita akan cenderung menunduk dan jadi gampang nangis. Jadi dengan cara ini, kita menahan supaya nggak menangis…”

Hmm… mungkin langkah itu bisa berhasil untuk beberapa orang. Tapi sepertinya tidak cukup berhasil bagi saya – tidak bila ‘unsur langit’ tidak dapat dipenuhi. Menahan tangis dengan cara ini sedikit membuat dada terasa lebih penuh – lebih sesak. Walau saya akui, tetap bisa jadi pertimbangan untuk dilakukan saat situasi tidak memungkinkan untuk menumpahkan tangisan.

Rasanya saya masih akan lebih memilih mencari ruang kosong, pojokan sempit, atau bahkan hanya butuh sebuah buku yang memungkinkan saya untuk menyembunyikan wajah di baliknya – sehingga tidak akan ada yang menyadari jika saya sedang menangis.

Apa kamu punya cara lain menghadapi kesedihan?

You might have one.
Everybody does, I thought.

:)

Sabtu, 09 April 2011

Welcoming The "Double Two"...

Well, here I am.
Writing another note this night, just a day before my age going to be added (or I should say – reduced?). I’m gonna be 22 tomorrow – yup, a double two age.


Harapan menjelang usia 22 tahun? Tentunya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Terdengar klise dan pasaran, namun itulah keinginan yang paling kuat melekat. There’s no such perfect person. But at least I try to be a good one. Sepanjang hampir 22 tahun perjalanan hidup ini, rasanya semakin panjang pula daftar kesalahan, keburukan, kebodohan, dan hal-hal negatif lainnya. Hal-hal yang membuat saya menyesal, baik hanya sejenak ataupun berkepanjangan. Tapi rasanya bukan hal yang bijak bila kita terlalu berlama-lama pada rasa sesal dan tak beranjak bangkit. Bukankah kesalahan di masa lalu itu ada untuk menjadi pelajaran bagi masa depan? 

Saya bersyukur atas segala peristiwa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Baik yang membahagiakan maupun menyedihkan. Yes, I always believe that everything happens for a reason. Or reasons.

Beberapa hari belakangan, saya semakin tersadarkan bahwa seberat apapun masalah yang menghampiri, yang paling penting adalah bagaimana cara kita menghadapi saat itu datang dan mengambil hikmah setelah itu berakhir.

Memasuki minggu pertama di departemen Psikiatri membawa kesan tersendiri bagi saya. Selama bertahun-tahun berfokus pada kesehatan fisik, saya hampir lupa bahwa ada kesehatan psikis. Penyakit mental, gangguan jiwa, atau apapun sebutannya. Bila di bagian lain kita akan menemui pasien rawat inap yang tergolek lemah di atas ranjang, di bagian ini pasien justru dengan leluasa berjalan mondar-mandir di sekitar bangsal rawat inap. Seringkali justru tidak tampak sakit – terutama jika dilihat sekilas dari kejauhan. Ada pasien yang setiap bertemu dengan saya selalu menyerukan nama saya dengan lantang, ada yang selalu menjabat tangan dengan penuh semangat, dan ada pula yang hanya memberikan tatapan mata kosong – kemudian tersenyum dan berlalu begitu saja. Ada pula yang katanya ingin meramal saya, namun berakhir dengan cengiran tanpa makna dan dia akhirnya pergi tanpa mengatakan hasil “ramalan”-nya. Keberadaan mereka di bangsal rawat inap tentu bukan tanpa alasan. Apapun itu, membayangkan mereka berada terpisah dari keluarga, tentunya bukanlah suatu hal yang mudah ataupun menyenangkan. Saya jadi sedikit berandai-andai. Bagaimana bila saya yang berada di posisi itu?

Jika di bagian lain, keluarga dengan penuh keprihatinan datang untuk menjenguk dan bahkan merawat pasien, di bagian ini saya dihadapkan dengan realita bahwa pasien mungkin justru menjadi seseorang yang ditakuti atau dihindari oleh keluarganya sendiri. Ironis memang, namun itulah kenyataannya.

Saya merasa sangat tersentuh ketika berkesempatan mengikuti semacam aktivitas kelompok bersama para anggota keluarga dari pasien Skizofrenia – orang yang memiliki gangguan pada kemampuan membedakan realita dengan halusinasi ataupun alam pikirannya. Di sana saya bertemu dengan para ibu, ayah, kakak, ataupun saudara lain yang tampak sangat concern dengan kondisi anggota keluarganya yang menderita Skizofrenia. Penderitaan justru lebih dirasakan oleh mereka yang berjuang demi kesembuhan anggota keluarganya, melawan berbagai stigma negatif yang terlanjur merebak di masyarakat. Berat, namun mereka tidak begitu saja menyerah pada keadaan. Dan saya yang saat itu (Alhamdulillah) berada dalam kondisi sehat secara fisik dan (mudah-mudahan) mental jadi berpikir: bagaimana mungkin saya tidak bersyukur atas apa yang saya miliki, sementara mereka yang memiliki beban permasalahan yang cukup berat masih dapat mengambil hikmah dan mengucap syukur?

Jika diberikan kesempatan…
Saya ingin bisa menjadi pribadi yang lebih baik,
yang senantiasa berpikir positif dan optimis,
dan lebih realistis.
Kadang, hidup berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Namun bukan berarti itu menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berusaha.

Sudah saatnya saya beranjak dari idealisme “kacamata kuda” – this is a real life…
It’s about how you seeing the unperfect perfectly… ^^

Terima kasih, bagi semua orang yang pernah hadir dalam hidup saya dan memberikan “warna”.
Whatever the colour is…
Thank you, it means a lot for me.


Alhamdulillah… ^^

Sabtu, 12 Februari 2011

Je t’aime aussi et tu me manques déjà

Why do the title have to be like the line above? Well, actually it’s one of my friend’s favorite line, and she love to use it these days (also mentioned it in her blog). And I found myself loving this line, too. If you want to know the meaning, you can figure it out from google-translate… :D

I'm just having a random night talk with one of my friend, Dina - another "labil" night for us, though? :p - and she gave me some lines, good ones. I couldn't remember clearly all of them (because of my short-term-memory ^^), but there's one that I still remember the point: “We’re all a little weird and life is a little weird. And when we find somebody who is as weird as ourselves, that’s what when we call it love

And yes, that-thing-called-love sometimes come in unpredictable way. There're already many examples around us. Nobody knows which relationship will ended happily. But at least we go and try for it. You can do it! *sekalian numpang kasih semangat buat mbak yang lagi labil di "sana"... hehe

Well, for now and later, I'm always hoping the best for all of us... ^^

Yes, I'm still having a blog...

Suddenly, I really want to write about something in this blog. Just some random thought of mine – as usual.

Rasanya sudah beberapa bulan belakangan ini saya tidak pernah aktif menulis di blog ini. Entah karena kesibukan (akademis maupun non-akademis) yang terlalu menyita waktu, atau karena saya yang memang sedang terlalu malas untuk menulis tentang apapun. Atau mungkin juga karena saya mulai menemukan salah satu metode pelampiasan stress yang menyenangkan selain menulis: memasak! Yup, I enjoy cooking very much these past days. Ketika sedang kesal (atau sebaliknya), memasak dapat menjadi cara ampuh untuk mengalihkan segala energi dan emosi yang menggebu-gebu. Apalagi jika ada sesi tumis-menumis. Wah, seluruh tenaga tampaknya langsung dikerahkan habis-habisan. Minimal, ada 2 keuntungan yang bisa diperoleh: 1. Menyalurkan esktra energi dan emosi secara positif, dan 2. Ada masakan lezat yang dihasilkan! :) (Ok, ada juga poin 3. Orang yang mencicipi bisa ikut senang dapat makanan!)

Berbicara tentang tulis-menulis, saya jadi teringat beberapa hari yang lalu, eyang saya (eyang putri dari pihak ibu) tiba-tiba saja memberikan beberapa nasihat dan meminta saya untuk membantu mengetikkan nasihat-nasihat yang ingin dia berikan ke sanak keluarga lainnya, khususnya bagi para anak dan cucu. Semuanya tentang nilai-nilai yang berharga dalam kehidupan. Saya tidak akan menuliskan pesan-pesan itu dalam blog ini sekarang. Jika ada kesempatan suatu hari nanti, mungkin saya akan menuangkannya dalam postingan lain. Intinya adalah… bahkan seorang eyang berusia hampir 79 tahun masih memikirkan suatu metode penyampaian pesan bersifat tulisan. Karena dalam beberapa hal, hitam di atas putih dapat menjadi sesuatu hal yang tidak mudah hilang, tidak seperti ingatan tentang percakapan lisan yang dapat dengan mudah dilupakan. Jika kelak – suatu hari setelah bertahun-tahun nantinya, ketika saya sudah tidak aktif lagi menulis di blog – saya berkesempatan untuk membaca tulisan-tulisan yang pernah saya goreskan, mungkin akan menjadi suatu nostalgia yang manis. :)

Iseng-iseng saya mengutip sedikit percakapan dengan eyang beberapa waktu belakangan, yang menurut saya berkesan dan membuat saya semakin mengagumi beliau…

Saya (S): “Eyang, kenapa tiba-tiba kok bisa kepikiran mau menuliskan pesan-pesan eyang itu?”
Eyang (E): “Iya, eyang ingin sekali rasanya meninggalkan sesuatu untuk anak-cucu eyang nantinya, tapi bukan hanya harta. Hidup eyang sekarang rasanya udah lengkap, udah nggak ada beban lagi. Jika suatu hari nanti eyang pergi, eyang nggak mau pergi tanpa meninggalkan apa-apa…”

Ah eyang, memang harta buat eyang bukanlah ukuran kebahagiaan. Seperti yang juga eyang pernah sebutkan dalam salah satu percakapan dengan saya…

“Percuma aja kaya, tapi ternyata dia menyakiti kamu. Lebih baik yang sederhana, tapi hidupmu bahagia. Suku dan status itu bukan apa-apa. Yang paling penting, dia tanggung jawab dan setia.” Begitulah pendapat eyang yang diutarakan secara lugas dan sederhana mengenai kriteria pasangan idaman. Bukan, bukan pasangan idaman untuk eyang sendiri. Yang eyang maksudkan di sini adalah nasihat untuk saya. Jelas, harta bukan jaminan bagi kebahagiaan di mata eyang. (Dan saya sependapat ^^)

I’m always love you, grandma… you’re one of the best person in my life… always wish you all the best :)