Rabu, 18 Mei 2011

Quotes (1)

Well, there are some of quotes I got these days. All of them are beautiful yet meaningful. This half part from the poem "10 Things I Hate About You" is one of my fave :)


*****



I hate the way you’re always right,

I hate it when you lie.

I hate it when you make me laugh,

even worse when you make me cry.

I hate it when you’re not around,

and the fact that you didn’t call.

But mostly I hate the way I don’t hate you,

not even close…

not even a little bit…

not even at all.

Looking At The Sky

Chin up!”

“Maksudnya?”

“Dagunya diangkat ke atas. Kayak menengadah ke atas. Karena biasanya ketika ketika kita sedih, kita akan cenderung menunduk dan airmata akan lebih mudah mengalir…”

-dikutip dari konversasi singkat dengan salah seorang sahabat suatu malam, dengan sedikit perubahan-


*****


Pernahkah kamu merasa sedih?
Bila sedang dirundung kesedihan, apa yang biasanya kamu lakukan?

Setiap manusia yang dibekali perasaan sebagai teman setia akal tentunya pernah merasa sedih. Dari mulai kesedihan dalam kadar minimal hingga kesedihan yang berdampak pada kestabilan psikis, berujung pada depresi dan gangguan jiwa.
Kesedihan biasanya lahir karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Saat kita mengharap keberhasilan dan ternyata kegagalan yang dijumpai, kita bersedih. Saat kehilangan seseorang yang kita damba akan berada di sisi kita untuk selamanya, kita bersedih. Saat tiba-tiba tubuh tergeletak lemah karena penyakit sementara kita berharap senantiasa sehat, kita pun bersedih. Ada begitu banyak alasan, beragam sebab, yang dapat memicu timbulnya kesedihan.

Bukan, bukan “mengapa kamu bersedih” yang ingin saya angkat. Setiap orang punya cerita tersendiri di balik tiap raut wajah yang mengerut pilu, airmata yang membanjiri kedua pipi, dan tiap isakan yang membuat tenggorokan seperti terjepit. Berbeda waktu, berbeda individu, berbeda masalah. Terlalu variatif dan luas untuk dibahas.

Yang ingin saya singgung adalah mengenai “apa yang kamu lakukan saat kamu bersedih”.
Apakah kamu menangis?
Saya secara jujur mengakui bahwa saya tergolong pribadi yang mudah mengeluarkan airmata setiap merasa sedih. Dan mungkin begitu pula jutaan (bahkan milyaran) manusia lainnya, khususnya individu dengan kromosom XX (ya, maksud saya kaum wanita). Bukan berarti saya mengatakan bahwa wanita itu lemah. Prinsip saya, tangisan bukanlah tanda kelemahan. Ini hanyalah salah satu cara pelampiasan emosi yang relatif ‘aman’, karena tidak akan melukai orang lain (setidaknya, tidak secara fisik). Tapi, tentunya tidak setiap waktu dan tempat bisa menjadi kesempatan yang sesuai untuk menerapkan langkah ini. Bayangkan ketika kita berada di tengah kerumunan orang. Apakah menyenangkan menjadi pusat perhatian karena kita tiba-tiba menangis seperti orang frustasi di tengah mereka? Rasanya tidak.

Jika sudah begitu, saya biasanya punya langkah jitu. Saya akan segera memandang ke arah langit. Bukan langit-langit, tapi langit sungguhan. Akan jauh lebih baik bila itu adalah langit biru yang cerah di pagi ataupun siang hari. Bagi saya, langit selalu punya pesona tersendiri. Langit fajar, pagi-siang, senja, ataupun malam punya kesan masing-masing. Dan khusus untuk ‘penentram’ kesedihan, langit biru bersih di pagi-siang menjadi sahabat terbaik saya. Ini menjadi ritual yang sayangnya tanpa sadar sudah saya tinggalkan – entah sejak bangku SMA atau kuliah, saya tidak begitu yakin.

Dulu, saya bisa begitu antusias hanya dengan duduk di ruang kelas yang bisa menghadap jendela, atau berdiri santai di beranda depan kelas di lantai dua atau tiga. Memandang ke arah langit biru, dengan gradasi biru muda dan indigo yang dihiasi gumpalan awan.

Sebaliknya, langit mendung bisa jadi partner-in-crime kesedihan. Bukan hanya suasana hati yang kelabu, tapi juga langit. Rasa-rasanya hujan yang turun dengan mudah beradu dengan tangisan yang mengalir dari pelupuk mata. Terlebih, saya tidak suka (dan takut) petir. Jadi… ritual ‘memandang langit’ untuk mengatasi kesedihan tidak berlaku saat cuaca tidak bersahabat.

Saya teringat kembali mengenai kebiasaan lama ini beberapa waktu lalu, ketika sedang terlibat konversasi dunia maya dengan salah seorang sahabat. Entah kenapa, topik malam itu berkutat ke arah hal-hal melankolis dan semacamnya. Hingga sahabat saya berkata,

“Coba… hmm chin up aja, Ra. Chin up!”

Chin up? Langsung terbayang gerakan head tilt dan chin lift di benak saya – salah satu langkah dasar untuk membuka jalan napas pada pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar.

Sahabat saya tertawa ringan (terwakili dengan ketikan kata-kata dan emoticon ‘laughing’) ketika saya mengungkapkan apa yang muncul dalam pikiran saya mengenai ucapannya.

“Ya… prinsipnya begitu, ya. Dagunya kayak diangkat ke atas, menengadah ke atas. Karena biasanya kalau kita lagi sedih, kita akan cenderung menunduk dan jadi gampang nangis. Jadi dengan cara ini, kita menahan supaya nggak menangis…”

Hmm… mungkin langkah itu bisa berhasil untuk beberapa orang. Tapi sepertinya tidak cukup berhasil bagi saya – tidak bila ‘unsur langit’ tidak dapat dipenuhi. Menahan tangis dengan cara ini sedikit membuat dada terasa lebih penuh – lebih sesak. Walau saya akui, tetap bisa jadi pertimbangan untuk dilakukan saat situasi tidak memungkinkan untuk menumpahkan tangisan.

Rasanya saya masih akan lebih memilih mencari ruang kosong, pojokan sempit, atau bahkan hanya butuh sebuah buku yang memungkinkan saya untuk menyembunyikan wajah di baliknya – sehingga tidak akan ada yang menyadari jika saya sedang menangis.

Apa kamu punya cara lain menghadapi kesedihan?

You might have one.
Everybody does, I thought.

:)