As time goes by, I believe that people in our life could come and go. Some people just easy to come, easy to go. But others might stay longer. Probably until the end of our life, though. We just don't know who will be which. But every single person always brings something. Good or bad, the presence of someone gives us things to learned....
*****
Saya bersyukur, terlahir di dunia dimana saya tumbuh dan dikelilingi banyak orang yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajari saya dalam memaknai kehidupan. Terkadang, kita tidak perlu mengalami suatu hal untuk memahami bahwa itu baik atau buruk, karena kita dapat belajar dari pengalaman orang lain. Experience is the best teacher -- but you don't have to do all by yourself... :)
Saat kita merasakan kebaikan dari orang lain, kita dapat memahami kebahagiaan yang timbul, dan akhirnya (dalam kondisi ideal) akan cenderung meneruskan kebaikan itu. Namun, saat kita merasakan hal yang sebaliknya (mengalami suatu hal yang buruk), kita akan memahami bahwa melakukan hal yang sama hanya akan membuat lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Hanya aura negatif yang akan terus menyelubungi.
Sekecil apapun peran seseorang dalam porsi hidup kita secara keseluruhan, tentunya ada makna tersendiri yang mereka torehkan. Walaupun bahkan keberadaan mereka nyaris tidak lagi kita ingat ataupun sadari. (Atau sebaliknya, mereka pun lupa bahwa kita pernah singgah di kehidupan mereka ^^). Contohnya saja, guru TK yang pertama kali mengajari saya membaca (saya benar-benar sudah tidak ingat wajah dan namanya). Dari beliaulah saya bisa berkenalan dengan dunia alfabetik, sampai akhirnya bisa menulis untaian kata dalam blog ini setiap kali saya butuh 'pelarian'. Saya mungkin telah melupakan beliau, tapi apa yang diajarkannya masih lekat dan bermanfaat hingga kini.
Atau contoh lainnya. Saya pernah punya sahabat karib saat sekolah dasar, yang terputus hubungan karena saya pindah mengikuti dinas orangtua. Awalnya, kami masih saling berkirim surat layaknya dua orang sahabat pena. Namun entah dalam berapa waktu akhirnya korespondensi ini terhenti. Beberapa malam saya dihantui rasa bersalah karena tidak membalas suratnya -- saya kehilangan alamatnya, entah bagaimana detil ceritanya, saya pun sudah tak dapat mengingat dengan sempurna. Saya melanjutkan hidup, dan begitu pula dia. Hingga suatu situs jejaring sosial mempertemukan kami nyaris sepuluh tahun kemudian -- mungkin ini contoh ketidaksengajaan yang disengaja. :) Hanya ada obrolan ringan yang singkat, namun cukup untuk membuat bernostalgia. Terkenang kembali penyesalan karena tidak bisa membalas surat, namun kali ini tanpa kesedihan. Dari sini saya belajar, bahwa di dunia ini akan ada orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup kita. Ibarat pelakon sinetron yang masa kontraknya habis setelah sekian episode, mungkin begitulah kira-kira porsi mereka dalam hidup kita.
Kadang mereka pergi begitu saja tanpa kita sadari. Kadang mereka pergi karena keadaan yang memaksa demikian. Kadang mereka pergi karena apa yang kita lakukan. Dan saat mereka pergi, tak ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
Ada beragam bentuk dari kepergian dan kehilangan. Kepergian abadi yang dikukuhkan oleh kematian, kepergian karena terpisahkan oleh jarak dan waktu, kehilangan karena tembok bernama kesibukan dan dunia baru, hingga kehilangan yang tak kasatmata - dimana secara jasmani kita masih dapat menjumpai, namun perasaan dan kenyamanan yang tak lagi sama membuat seakan menjauh, bahkan menghilang. Ibarat kabel telepon yang rusak dan terputus sambungan. Tidak ada yang tahu pasti, berapa lama hal ini akan bertahan. Kepergian dan kehilangan yang tidak abadi tidak pernah dapat diprediksi. Hanya perjalanan waktu yang bisa menjawab, apakah kesempatan untuk tersambung kembali akan datang lagi.
When we meet someone, we have to face the possibility that he/she might go. But not everybody. Some people would stay.
Who would stay, then?
People said, "your family".
Others added, "your bestfriend".
All said, "your beloved ones".
Well, I believe the one who stay might be the one who loves us, the one who cares, and the one whose life is also being fullfilled by us --- ideally. Or it just because the destiny said so. Who knows? :)
*************************************************************************************
"Doesn't have to be the perfect one, but have to fit you properly -- like when you're wearing clothes in the right size" ^^
Senin, 13 September 2010
Jumat, 10 September 2010
Why Do You Want To Become A Doctor?
Well, I thought the question above is especially for myself.
It’s been like a habit, I tend to write a note while I’m thinking about some random things in my insomnia night. And now, this question suddenly came up in my mind. Not in an exact random without reasons, because there’s a trigger before.
Jika anda bertanya pada dokter ataupun calon dokter mengenai pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, saya yakin anda akan menjumpai jawaban yang bervariasi. Sebagian akan menjawab “ingin menolong orang lain”, “cita-cita sejak kecil”, “harapan orang tua”, “profesi yang menjanjikan,” dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa di antara mereka mungkin menyimpan alasan-alasan dramatis seperti “ingin menyembuhkan penyakit yang menyerang orang tua saya” dan sejenisnya. Jujur, ketika seseorang bertanya mengenai alasan saya ingin menjadi seorang dokter, jawaban saya akan berkutat di contoh jawaban pertama dan kedua. Namun ketika saya mencoba memikirkannya kembali, ada sedikit keraguan menerpa. Benarkah itu jawabannya?
Ada berjuta (mudah-mudahan saya sedang tidak hiperbolis) profesi di dunia ini, dan sebagian besar di antaranya bisa membuka kesempatan untuk menolong orang lain. Then why do I have to choose to be “doctor”?
Bila beranjak ke alasan kedua, sesungguhnya jadi lebih membingungkan. Baiklah, memang sejak kecil saya sudah bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Tapi tentunya anda telah menyadari bahwa dokter tampaknya merupakan salah satu dari beberapa profesi favorit di kalangan anak-anak. Mungkin bagi mereka, sosok yang dapat menyembuhkan orang sakit tampak begitu mengagumkan. Pada kenyataannya, keputusan seseorang sembuh dari penyakitnya atau tidak berpulang kepada kehendak Sang Pencipta. Seorang dokter tidak bisa menjamin keberhasilan penyembuhan hingga 100%. Ia hanya bisa mengusahakan sesuai batas kemampuannya, berdasarkan ilmu yang telah direguk selama bertahun-tahun masa pendidikan dengan ditambah beberapa pengalaman langsung yang dijumpai.
Saya menjadi sedikit gamang, ketika profesi ini menjadi profesi yang kadangkala dielu-elukan, dispesialkan, dianggap ‘tinggi’, dan sejenisnya. Ibaratnya, anda harus menjadi sosok yang superior (dalam pengertian positif), dimana penguasaan ilmu memegang peranan, komunikasi yang baik kunci utama, dan ada sifat-sifat positif yang harus dijunjung.
Salah seorang dosen pernah berkata, bahwa jika mengejar materi semata, maka sesungguhnya profesi dokter bukanlah pilihan yang ideal. Karena pada hakikatnya profesi dokter adalah profesi yang begitu erat dengan sosial-kemanusiaan. Kita tidak bisa menentukan pasien mana yang harus menderita penyakit apa, dan penyakit bisa menyerang seseorang dalam situasi yang tak bisa kita pilih ataupun prediksi. Kita dapat mengambil contoh seperti bencana alam yang memakan begitu banyak korban jiwa dan korban luka-luka. Tidak etis rasanya bila seorang dokter hanya berpangku tangan melihat (bila kejadian itu masih dalam jangkauannya) karena tidak ada jaminan keuntungan materi akan diperolehnya bila ia turun tangan. Jika dilakukan dengan tulus, maka profesi ini akan menjadi ladang amal yang begitu luas – limpahan materi yang berkecukupan hanyalah bonus pemanis jika memungkinkan.
Nyatanya, saya belum bisa merasa benar-benar total untuk menolong orang lain. Bukan berarti saya tidak memiliki keinginan – setiap kali melihat seseorang tak berdaya akibat suatu penyakit, saya selalu tergerak untuk melakukan sesuatu, setidaknya untuk meringankan penderitaannya. Tapi, ada beberapa pengecualian. Seperti saat adik pertama saya merasa tidak enak badan (baca: kurang sehat), saya cenderung acuh-tak-acuh. Hm, mungkin acuh-tak-acuh bukan pilihan kata yang sesuai. Lebih tepatnya, saya justru menganggapnya sebagai hal yang agak menyebalkan. Alih-alih berempati dan berusaha membuatnya merasa lebih nyaman, saya justru meladeninya dengan gerutu. Entah mengapa, saya justru merasa terganggu dengan keluhan-keluhannya. Apalagi bila keluhan ini muncul di saat-saat yang tidak tepat – seperti di malam hari ketika saya sudah benar-benar lelah dan bersiap untuk tidur. Saya sering menganggapnya agak terlalu berlebihan dan memaksa. Dia terus menagih obat yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman – padahal saya tipikal orang yang tidak suka merekomendasikan obat-obatan. Prinsip saya, bila suatu penyakit atau gangguan kesehatan masih dapat diatasi tanpa obat, berarti obat itu memang tidak dibutuhkan. Tapi beberapa waktu belakangan saya jadi berpikir. Bagaimana bila nanti saya berjumpa dengan pasien yang jauh lebih tidak kooperatif dan memaksa, di situasi yang juga tidak saya harapkan? Apakah ini akan membuat saya setengah-setengah dalam anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana?
Berangkat dari “renungan” itu, saya merasa bahwa saya harus belajar untuk dapat lebih mengendalikan perasaan dan emosi.
Well, tampaknya topik tulisan ini telah benar-benar melompat dari yang seharusnya sejalan menurut judul. Namun, entah mengapa saya meyakini satu hal: walaupun alasan yang mendasari seseorang memilih atau melakukan sesuatu dapat turut menentukan seberapa kuat ia dapat menjalani langkah ke depan, pada akhirnya yang terbaik adalah menjalani keputusan yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya. Karena sekeras apapun kita berusaha memikirkan yang terjadi di masa lalu, tidak akan ada yang berubah dari masa itu. Sebaliknya, yang terpenting adalah menapaki jalan yang terbentang menuju masa depan....
*****
huff... lagi-lagi note yang random... >-<
It’s been like a habit, I tend to write a note while I’m thinking about some random things in my insomnia night. And now, this question suddenly came up in my mind. Not in an exact random without reasons, because there’s a trigger before.
Jika anda bertanya pada dokter ataupun calon dokter mengenai pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, saya yakin anda akan menjumpai jawaban yang bervariasi. Sebagian akan menjawab “ingin menolong orang lain”, “cita-cita sejak kecil”, “harapan orang tua”, “profesi yang menjanjikan,” dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa di antara mereka mungkin menyimpan alasan-alasan dramatis seperti “ingin menyembuhkan penyakit yang menyerang orang tua saya” dan sejenisnya. Jujur, ketika seseorang bertanya mengenai alasan saya ingin menjadi seorang dokter, jawaban saya akan berkutat di contoh jawaban pertama dan kedua. Namun ketika saya mencoba memikirkannya kembali, ada sedikit keraguan menerpa. Benarkah itu jawabannya?
Ada berjuta (mudah-mudahan saya sedang tidak hiperbolis) profesi di dunia ini, dan sebagian besar di antaranya bisa membuka kesempatan untuk menolong orang lain. Then why do I have to choose to be “doctor”?
Bila beranjak ke alasan kedua, sesungguhnya jadi lebih membingungkan. Baiklah, memang sejak kecil saya sudah bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Tapi tentunya anda telah menyadari bahwa dokter tampaknya merupakan salah satu dari beberapa profesi favorit di kalangan anak-anak. Mungkin bagi mereka, sosok yang dapat menyembuhkan orang sakit tampak begitu mengagumkan. Pada kenyataannya, keputusan seseorang sembuh dari penyakitnya atau tidak berpulang kepada kehendak Sang Pencipta. Seorang dokter tidak bisa menjamin keberhasilan penyembuhan hingga 100%. Ia hanya bisa mengusahakan sesuai batas kemampuannya, berdasarkan ilmu yang telah direguk selama bertahun-tahun masa pendidikan dengan ditambah beberapa pengalaman langsung yang dijumpai.
Saya menjadi sedikit gamang, ketika profesi ini menjadi profesi yang kadangkala dielu-elukan, dispesialkan, dianggap ‘tinggi’, dan sejenisnya. Ibaratnya, anda harus menjadi sosok yang superior (dalam pengertian positif), dimana penguasaan ilmu memegang peranan, komunikasi yang baik kunci utama, dan ada sifat-sifat positif yang harus dijunjung.
Salah seorang dosen pernah berkata, bahwa jika mengejar materi semata, maka sesungguhnya profesi dokter bukanlah pilihan yang ideal. Karena pada hakikatnya profesi dokter adalah profesi yang begitu erat dengan sosial-kemanusiaan. Kita tidak bisa menentukan pasien mana yang harus menderita penyakit apa, dan penyakit bisa menyerang seseorang dalam situasi yang tak bisa kita pilih ataupun prediksi. Kita dapat mengambil contoh seperti bencana alam yang memakan begitu banyak korban jiwa dan korban luka-luka. Tidak etis rasanya bila seorang dokter hanya berpangku tangan melihat (bila kejadian itu masih dalam jangkauannya) karena tidak ada jaminan keuntungan materi akan diperolehnya bila ia turun tangan. Jika dilakukan dengan tulus, maka profesi ini akan menjadi ladang amal yang begitu luas – limpahan materi yang berkecukupan hanyalah bonus pemanis jika memungkinkan.
Nyatanya, saya belum bisa merasa benar-benar total untuk menolong orang lain. Bukan berarti saya tidak memiliki keinginan – setiap kali melihat seseorang tak berdaya akibat suatu penyakit, saya selalu tergerak untuk melakukan sesuatu, setidaknya untuk meringankan penderitaannya. Tapi, ada beberapa pengecualian. Seperti saat adik pertama saya merasa tidak enak badan (baca: kurang sehat), saya cenderung acuh-tak-acuh. Hm, mungkin acuh-tak-acuh bukan pilihan kata yang sesuai. Lebih tepatnya, saya justru menganggapnya sebagai hal yang agak menyebalkan. Alih-alih berempati dan berusaha membuatnya merasa lebih nyaman, saya justru meladeninya dengan gerutu. Entah mengapa, saya justru merasa terganggu dengan keluhan-keluhannya. Apalagi bila keluhan ini muncul di saat-saat yang tidak tepat – seperti di malam hari ketika saya sudah benar-benar lelah dan bersiap untuk tidur. Saya sering menganggapnya agak terlalu berlebihan dan memaksa. Dia terus menagih obat yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman – padahal saya tipikal orang yang tidak suka merekomendasikan obat-obatan. Prinsip saya, bila suatu penyakit atau gangguan kesehatan masih dapat diatasi tanpa obat, berarti obat itu memang tidak dibutuhkan. Tapi beberapa waktu belakangan saya jadi berpikir. Bagaimana bila nanti saya berjumpa dengan pasien yang jauh lebih tidak kooperatif dan memaksa, di situasi yang juga tidak saya harapkan? Apakah ini akan membuat saya setengah-setengah dalam anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana?
Berangkat dari “renungan” itu, saya merasa bahwa saya harus belajar untuk dapat lebih mengendalikan perasaan dan emosi.
Well, tampaknya topik tulisan ini telah benar-benar melompat dari yang seharusnya sejalan menurut judul. Namun, entah mengapa saya meyakini satu hal: walaupun alasan yang mendasari seseorang memilih atau melakukan sesuatu dapat turut menentukan seberapa kuat ia dapat menjalani langkah ke depan, pada akhirnya yang terbaik adalah menjalani keputusan yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya. Karena sekeras apapun kita berusaha memikirkan yang terjadi di masa lalu, tidak akan ada yang berubah dari masa itu. Sebaliknya, yang terpenting adalah menapaki jalan yang terbentang menuju masa depan....
*****
huff... lagi-lagi note yang random... >-<
Langganan:
Postingan (Atom)