Kamis, 14 November 2013

A Change For A Chance

Menghadapi perubahan dalam hidup kadang menjadi hal yang begitu tidak menyenangkan. Bagaimana tidak? Bayangkan jika anda terbiasa menjalani hidup nyaman dan mapan tanpa suatu masalah berarti selama setahun penuh, kemudian tiba-tiba mendapatkan fakta sumber kenyamanan itu harus terputus. Atau secara ringkasnya: anda dinyatakan bangkrut. Oke, saya akui contoh yang satu ini cukup ekstrim. 

Selama hampir seperempat abad saya menghirup udara bumi, belum pernah saya menemukan formula yang dapat menghentikan atau memutarbalikkan waktu. Detik demi detik terus berputar, semakin menegaskan bahwa waktu begitu tak terhentikan. Perjalanan waktu seringkali diiringi dengan berbagai perubahan: dari hal kecil yang tidak begitu kasatmata hingga hal besar yang begitu signifikan. Yang paling sederhana, tatap diri anda di depan cermin: sudahkah rambut ini bertambah panjang dibanding bulan-bulan sebelumnya? Wajah yang tadinya bersih, tiba-tiba sudah dihinggapi jerawat-jerawat nakal? 

Saya sendiri baru saja mengalami suatu perubahan. Atau lebih tepat dikatakan sebagai suatu masa transisi. Setelah satu tahun menikmati masa bebas, pada akhirnya saya harus kembali pada realita kehidupan. Harus lepas dari segala tingkah polah kekanakan, bersiap untuk bersikap dewasa dan menata rencana masa depan. It’s not the time to be careless or carefree, but time to be careful

Hal yang membuat saya sedih akan perubahan ini bukan sebatas pada kenyataan bahwa saya harus mendewasakan diri. Tapi kenyataan bahwa ada orang-orang (teman-teman, lebih tepatnya) yang tidak lagi dapat saya jumpai dengan mudah seperti sebelumnya. Mungkin ini mirip dengan perpisahan jaman sekolah, hanya saja lebih terasa karena masing-masing harus langsung kembali ke kota domisili yang berbeda-beda. Berawal dari orang asing, menjadi kenalan, teman baik, dan akhirnya terasa seperti sebuah keluarga. Ada kenyamanan tersendiri, dengan segala kengawuran dan ke-"minus"-annya. Siapa sangka satu set kartu permainan dan kata “capsa” bisa jadi mood-booster jitu yang tidak pernah kadaluarsa di saat kejenuhan melanda? Yup, bahagia itu sederhana. Bisa sesederhana makan es krim hula-hula bagi seseorang. Atau sesederhana makan ayam goreng bagi orang lainnya.^-^

Bagaimanapun, setiap perubahan dalam hidup selalu memiliki makna. Dan seringkali, perubahan itu ada untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Membuka kesempatan bagi kita untuk mengaktualisasikan diri. Orang bilang, ketika kita bertemu seseorang maka kita harus siap untuk berpisah. Namun perpisahan dalam hidup boleh jadi hanya sementara, karena tidak ada yang bisa menyangka sekian tahun yang akan datang akan ada dimana kita dan orang-orang lain nantinya. Jika kita terus memperbaiki diri, berorientasi pada kemajuan, tentunya ada kebanggaan dan kepuasan saat semuanya kembali bertemu. Dalam sebuah reuni kecil, saat semua kisah klasik di masa lalu menjadi bahan canda di sela tegukan kopi dan sepotong kue. 


********** 


Dimanapun itu, kita masih berada di bawah langit yang sama, kan? :)



Sabtu, 01 Desember 2012

Hello... It's me, again! :)

After quite a while - a pretty much time back then - I've decided to write another post in here, again. Almost forget I got this blog, though :p Hmm... One of the reason that make me write again, maybe because I feel a little bit lonely now. Sounds pathetic, uh? *sigh* Most of my friends are now still in our beloved country, but in different area -- even different island. Some of them have different local time from mine. *imagine how far is it? I also have a lot of good friends here, but still missing you a lot, guys. Hope can see you all again later... >.<

Jumat, 29 Juli 2011

What if...

Dalam angan-angan terliar, saya pernah membayangkan ingin menjadi seorang psikopat yang tidak memiliki perasaan. Pikiran yang bodoh, karena hanya atas dasar pertimbangan seorang psikopat tidak akan merasakan kesedihan, kekecewaan, ataupun perasaan bersalah. Membuang segala bentuk ekspresi emosi yang seringkali menyesatkan pikiran.

But the fact is...
Being a psychopath doesn't solve your problems, although you've lost all senses of feeling.
Just face it bravely, maturely.

We can't forced everybody to loves us, but we can let them to decide. Just start it with loving others first, and try to do the best thing you can. Let Allah takes the rest...

Rabu, 18 Mei 2011

Quotes (1)

Well, there are some of quotes I got these days. All of them are beautiful yet meaningful. This half part from the poem "10 Things I Hate About You" is one of my fave :)


*****



I hate the way you’re always right,

I hate it when you lie.

I hate it when you make me laugh,

even worse when you make me cry.

I hate it when you’re not around,

and the fact that you didn’t call.

But mostly I hate the way I don’t hate you,

not even close…

not even a little bit…

not even at all.

Looking At The Sky

Chin up!”

“Maksudnya?”

“Dagunya diangkat ke atas. Kayak menengadah ke atas. Karena biasanya ketika ketika kita sedih, kita akan cenderung menunduk dan airmata akan lebih mudah mengalir…”

-dikutip dari konversasi singkat dengan salah seorang sahabat suatu malam, dengan sedikit perubahan-


*****


Pernahkah kamu merasa sedih?
Bila sedang dirundung kesedihan, apa yang biasanya kamu lakukan?

Setiap manusia yang dibekali perasaan sebagai teman setia akal tentunya pernah merasa sedih. Dari mulai kesedihan dalam kadar minimal hingga kesedihan yang berdampak pada kestabilan psikis, berujung pada depresi dan gangguan jiwa.
Kesedihan biasanya lahir karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Saat kita mengharap keberhasilan dan ternyata kegagalan yang dijumpai, kita bersedih. Saat kehilangan seseorang yang kita damba akan berada di sisi kita untuk selamanya, kita bersedih. Saat tiba-tiba tubuh tergeletak lemah karena penyakit sementara kita berharap senantiasa sehat, kita pun bersedih. Ada begitu banyak alasan, beragam sebab, yang dapat memicu timbulnya kesedihan.

Bukan, bukan “mengapa kamu bersedih” yang ingin saya angkat. Setiap orang punya cerita tersendiri di balik tiap raut wajah yang mengerut pilu, airmata yang membanjiri kedua pipi, dan tiap isakan yang membuat tenggorokan seperti terjepit. Berbeda waktu, berbeda individu, berbeda masalah. Terlalu variatif dan luas untuk dibahas.

Yang ingin saya singgung adalah mengenai “apa yang kamu lakukan saat kamu bersedih”.
Apakah kamu menangis?
Saya secara jujur mengakui bahwa saya tergolong pribadi yang mudah mengeluarkan airmata setiap merasa sedih. Dan mungkin begitu pula jutaan (bahkan milyaran) manusia lainnya, khususnya individu dengan kromosom XX (ya, maksud saya kaum wanita). Bukan berarti saya mengatakan bahwa wanita itu lemah. Prinsip saya, tangisan bukanlah tanda kelemahan. Ini hanyalah salah satu cara pelampiasan emosi yang relatif ‘aman’, karena tidak akan melukai orang lain (setidaknya, tidak secara fisik). Tapi, tentunya tidak setiap waktu dan tempat bisa menjadi kesempatan yang sesuai untuk menerapkan langkah ini. Bayangkan ketika kita berada di tengah kerumunan orang. Apakah menyenangkan menjadi pusat perhatian karena kita tiba-tiba menangis seperti orang frustasi di tengah mereka? Rasanya tidak.

Jika sudah begitu, saya biasanya punya langkah jitu. Saya akan segera memandang ke arah langit. Bukan langit-langit, tapi langit sungguhan. Akan jauh lebih baik bila itu adalah langit biru yang cerah di pagi ataupun siang hari. Bagi saya, langit selalu punya pesona tersendiri. Langit fajar, pagi-siang, senja, ataupun malam punya kesan masing-masing. Dan khusus untuk ‘penentram’ kesedihan, langit biru bersih di pagi-siang menjadi sahabat terbaik saya. Ini menjadi ritual yang sayangnya tanpa sadar sudah saya tinggalkan – entah sejak bangku SMA atau kuliah, saya tidak begitu yakin.

Dulu, saya bisa begitu antusias hanya dengan duduk di ruang kelas yang bisa menghadap jendela, atau berdiri santai di beranda depan kelas di lantai dua atau tiga. Memandang ke arah langit biru, dengan gradasi biru muda dan indigo yang dihiasi gumpalan awan.

Sebaliknya, langit mendung bisa jadi partner-in-crime kesedihan. Bukan hanya suasana hati yang kelabu, tapi juga langit. Rasa-rasanya hujan yang turun dengan mudah beradu dengan tangisan yang mengalir dari pelupuk mata. Terlebih, saya tidak suka (dan takut) petir. Jadi… ritual ‘memandang langit’ untuk mengatasi kesedihan tidak berlaku saat cuaca tidak bersahabat.

Saya teringat kembali mengenai kebiasaan lama ini beberapa waktu lalu, ketika sedang terlibat konversasi dunia maya dengan salah seorang sahabat. Entah kenapa, topik malam itu berkutat ke arah hal-hal melankolis dan semacamnya. Hingga sahabat saya berkata,

“Coba… hmm chin up aja, Ra. Chin up!”

Chin up? Langsung terbayang gerakan head tilt dan chin lift di benak saya – salah satu langkah dasar untuk membuka jalan napas pada pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar.

Sahabat saya tertawa ringan (terwakili dengan ketikan kata-kata dan emoticon ‘laughing’) ketika saya mengungkapkan apa yang muncul dalam pikiran saya mengenai ucapannya.

“Ya… prinsipnya begitu, ya. Dagunya kayak diangkat ke atas, menengadah ke atas. Karena biasanya kalau kita lagi sedih, kita akan cenderung menunduk dan jadi gampang nangis. Jadi dengan cara ini, kita menahan supaya nggak menangis…”

Hmm… mungkin langkah itu bisa berhasil untuk beberapa orang. Tapi sepertinya tidak cukup berhasil bagi saya – tidak bila ‘unsur langit’ tidak dapat dipenuhi. Menahan tangis dengan cara ini sedikit membuat dada terasa lebih penuh – lebih sesak. Walau saya akui, tetap bisa jadi pertimbangan untuk dilakukan saat situasi tidak memungkinkan untuk menumpahkan tangisan.

Rasanya saya masih akan lebih memilih mencari ruang kosong, pojokan sempit, atau bahkan hanya butuh sebuah buku yang memungkinkan saya untuk menyembunyikan wajah di baliknya – sehingga tidak akan ada yang menyadari jika saya sedang menangis.

Apa kamu punya cara lain menghadapi kesedihan?

You might have one.
Everybody does, I thought.

:)

Sabtu, 09 April 2011

Welcoming The "Double Two"...

Well, here I am.
Writing another note this night, just a day before my age going to be added (or I should say – reduced?). I’m gonna be 22 tomorrow – yup, a double two age.


Harapan menjelang usia 22 tahun? Tentunya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Terdengar klise dan pasaran, namun itulah keinginan yang paling kuat melekat. There’s no such perfect person. But at least I try to be a good one. Sepanjang hampir 22 tahun perjalanan hidup ini, rasanya semakin panjang pula daftar kesalahan, keburukan, kebodohan, dan hal-hal negatif lainnya. Hal-hal yang membuat saya menyesal, baik hanya sejenak ataupun berkepanjangan. Tapi rasanya bukan hal yang bijak bila kita terlalu berlama-lama pada rasa sesal dan tak beranjak bangkit. Bukankah kesalahan di masa lalu itu ada untuk menjadi pelajaran bagi masa depan? 

Saya bersyukur atas segala peristiwa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Baik yang membahagiakan maupun menyedihkan. Yes, I always believe that everything happens for a reason. Or reasons.

Beberapa hari belakangan, saya semakin tersadarkan bahwa seberat apapun masalah yang menghampiri, yang paling penting adalah bagaimana cara kita menghadapi saat itu datang dan mengambil hikmah setelah itu berakhir.

Memasuki minggu pertama di departemen Psikiatri membawa kesan tersendiri bagi saya. Selama bertahun-tahun berfokus pada kesehatan fisik, saya hampir lupa bahwa ada kesehatan psikis. Penyakit mental, gangguan jiwa, atau apapun sebutannya. Bila di bagian lain kita akan menemui pasien rawat inap yang tergolek lemah di atas ranjang, di bagian ini pasien justru dengan leluasa berjalan mondar-mandir di sekitar bangsal rawat inap. Seringkali justru tidak tampak sakit – terutama jika dilihat sekilas dari kejauhan. Ada pasien yang setiap bertemu dengan saya selalu menyerukan nama saya dengan lantang, ada yang selalu menjabat tangan dengan penuh semangat, dan ada pula yang hanya memberikan tatapan mata kosong – kemudian tersenyum dan berlalu begitu saja. Ada pula yang katanya ingin meramal saya, namun berakhir dengan cengiran tanpa makna dan dia akhirnya pergi tanpa mengatakan hasil “ramalan”-nya. Keberadaan mereka di bangsal rawat inap tentu bukan tanpa alasan. Apapun itu, membayangkan mereka berada terpisah dari keluarga, tentunya bukanlah suatu hal yang mudah ataupun menyenangkan. Saya jadi sedikit berandai-andai. Bagaimana bila saya yang berada di posisi itu?

Jika di bagian lain, keluarga dengan penuh keprihatinan datang untuk menjenguk dan bahkan merawat pasien, di bagian ini saya dihadapkan dengan realita bahwa pasien mungkin justru menjadi seseorang yang ditakuti atau dihindari oleh keluarganya sendiri. Ironis memang, namun itulah kenyataannya.

Saya merasa sangat tersentuh ketika berkesempatan mengikuti semacam aktivitas kelompok bersama para anggota keluarga dari pasien Skizofrenia – orang yang memiliki gangguan pada kemampuan membedakan realita dengan halusinasi ataupun alam pikirannya. Di sana saya bertemu dengan para ibu, ayah, kakak, ataupun saudara lain yang tampak sangat concern dengan kondisi anggota keluarganya yang menderita Skizofrenia. Penderitaan justru lebih dirasakan oleh mereka yang berjuang demi kesembuhan anggota keluarganya, melawan berbagai stigma negatif yang terlanjur merebak di masyarakat. Berat, namun mereka tidak begitu saja menyerah pada keadaan. Dan saya yang saat itu (Alhamdulillah) berada dalam kondisi sehat secara fisik dan (mudah-mudahan) mental jadi berpikir: bagaimana mungkin saya tidak bersyukur atas apa yang saya miliki, sementara mereka yang memiliki beban permasalahan yang cukup berat masih dapat mengambil hikmah dan mengucap syukur?

Jika diberikan kesempatan…
Saya ingin bisa menjadi pribadi yang lebih baik,
yang senantiasa berpikir positif dan optimis,
dan lebih realistis.
Kadang, hidup berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Namun bukan berarti itu menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berusaha.

Sudah saatnya saya beranjak dari idealisme “kacamata kuda” – this is a real life…
It’s about how you seeing the unperfect perfectly… ^^

Terima kasih, bagi semua orang yang pernah hadir dalam hidup saya dan memberikan “warna”.
Whatever the colour is…
Thank you, it means a lot for me.


Alhamdulillah… ^^

Sabtu, 12 Februari 2011

Je t’aime aussi et tu me manques déjà

Why do the title have to be like the line above? Well, actually it’s one of my friend’s favorite line, and she love to use it these days (also mentioned it in her blog). And I found myself loving this line, too. If you want to know the meaning, you can figure it out from google-translate… :D

I'm just having a random night talk with one of my friend, Dina - another "labil" night for us, though? :p - and she gave me some lines, good ones. I couldn't remember clearly all of them (because of my short-term-memory ^^), but there's one that I still remember the point: “We’re all a little weird and life is a little weird. And when we find somebody who is as weird as ourselves, that’s what when we call it love

And yes, that-thing-called-love sometimes come in unpredictable way. There're already many examples around us. Nobody knows which relationship will ended happily. But at least we go and try for it. You can do it! *sekalian numpang kasih semangat buat mbak yang lagi labil di "sana"... hehe

Well, for now and later, I'm always hoping the best for all of us... ^^