Jumat, 10 September 2010

Why Do You Want To Become A Doctor?

Well, I thought the question above is especially for myself.

It’s been like a habit, I tend to write a note while I’m thinking about some random things in my insomnia night. And now, this question suddenly came up in my mind. Not in an exact random without reasons, because there’s a trigger before.


Jika anda bertanya pada dokter ataupun calon dokter mengenai pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, saya yakin anda akan menjumpai jawaban yang bervariasi. Sebagian akan menjawab “ingin menolong orang lain”, “cita-cita sejak kecil”, “harapan orang tua”, “profesi yang menjanjikan,” dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa di antara mereka mungkin menyimpan alasan-alasan dramatis seperti “ingin menyembuhkan penyakit yang menyerang orang tua saya” dan sejenisnya. Jujur, ketika seseorang bertanya mengenai alasan saya ingin menjadi seorang dokter, jawaban saya akan berkutat di contoh jawaban pertama dan kedua. Namun ketika saya mencoba memikirkannya kembali, ada sedikit keraguan menerpa. Benarkah itu jawabannya?

Ada berjuta (mudah-mudahan saya sedang tidak hiperbolis) profesi di dunia ini, dan sebagian besar di antaranya bisa membuka kesempatan untuk menolong orang lain. Then why do I have to choose to be “doctor”?

Bila beranjak ke alasan kedua, sesungguhnya jadi lebih membingungkan. Baiklah, memang sejak kecil saya sudah bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Tapi tentunya anda telah menyadari bahwa dokter tampaknya merupakan salah satu dari beberapa profesi favorit di kalangan anak-anak. Mungkin bagi mereka, sosok yang dapat menyembuhkan orang sakit tampak begitu mengagumkan. Pada kenyataannya, keputusan seseorang sembuh dari penyakitnya atau tidak berpulang kepada kehendak Sang Pencipta. Seorang dokter tidak bisa menjamin keberhasilan penyembuhan hingga 100%. Ia hanya bisa mengusahakan sesuai batas kemampuannya, berdasarkan ilmu yang telah direguk selama bertahun-tahun masa pendidikan dengan ditambah beberapa pengalaman langsung yang dijumpai.

Saya menjadi sedikit gamang, ketika profesi ini menjadi profesi yang kadangkala dielu-elukan, dispesialkan, dianggap ‘tinggi’, dan sejenisnya. Ibaratnya, anda harus menjadi sosok yang superior (dalam pengertian positif), dimana penguasaan ilmu memegang peranan, komunikasi yang baik kunci utama, dan ada sifat-sifat positif yang harus dijunjung.

Salah seorang dosen pernah berkata, bahwa jika mengejar materi semata, maka sesungguhnya profesi dokter bukanlah pilihan yang ideal. Karena pada hakikatnya profesi dokter adalah profesi yang begitu erat dengan sosial-kemanusiaan. Kita tidak bisa menentukan pasien mana yang harus menderita penyakit apa, dan penyakit bisa menyerang seseorang dalam situasi yang tak bisa kita pilih ataupun prediksi. Kita dapat mengambil contoh seperti bencana alam yang memakan begitu banyak korban jiwa dan korban luka-luka. Tidak etis rasanya bila seorang dokter hanya berpangku tangan melihat (bila kejadian itu masih dalam jangkauannya) karena tidak ada jaminan keuntungan materi akan diperolehnya bila ia turun tangan. Jika dilakukan dengan tulus, maka profesi ini akan menjadi ladang amal yang begitu luas – limpahan materi yang berkecukupan hanyalah bonus pemanis jika memungkinkan.

Nyatanya, saya belum bisa merasa benar-benar total untuk menolong orang lain. Bukan berarti saya tidak memiliki keinginan – setiap kali melihat seseorang tak berdaya akibat suatu penyakit, saya selalu tergerak untuk melakukan sesuatu, setidaknya untuk meringankan penderitaannya. Tapi, ada beberapa pengecualian. Seperti saat adik pertama saya merasa tidak enak badan (baca: kurang sehat), saya cenderung acuh-tak-acuh. Hm, mungkin acuh-tak-acuh bukan pilihan kata yang sesuai. Lebih tepatnya, saya justru menganggapnya sebagai hal yang agak menyebalkan. Alih-alih berempati dan berusaha membuatnya merasa lebih nyaman, saya justru meladeninya dengan gerutu. Entah mengapa, saya justru merasa terganggu dengan keluhan-keluhannya. Apalagi bila keluhan ini muncul di saat-saat yang tidak tepat – seperti di malam hari ketika saya sudah benar-benar lelah dan bersiap untuk tidur. Saya sering menganggapnya agak terlalu berlebihan dan memaksa. Dia terus menagih obat yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman – padahal saya tipikal orang yang tidak suka merekomendasikan obat-obatan. Prinsip saya, bila suatu penyakit atau gangguan kesehatan masih dapat diatasi tanpa obat, berarti obat itu memang tidak dibutuhkan. Tapi beberapa waktu belakangan saya jadi berpikir. Bagaimana bila nanti saya berjumpa dengan pasien yang jauh lebih tidak kooperatif dan memaksa, di situasi yang juga tidak saya harapkan? Apakah ini akan membuat saya setengah-setengah dalam anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana?

Berangkat dari “renungan” itu, saya merasa bahwa saya harus belajar untuk dapat lebih mengendalikan perasaan dan emosi.

Well, tampaknya topik tulisan ini telah benar-benar melompat dari yang seharusnya sejalan menurut judul. Namun, entah mengapa saya meyakini satu hal: walaupun alasan yang mendasari seseorang memilih atau melakukan sesuatu dapat turut menentukan seberapa kuat ia dapat menjalani langkah ke depan, pada akhirnya yang terbaik adalah menjalani keputusan yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya. Karena sekeras apapun kita berusaha memikirkan yang terjadi di masa lalu, tidak akan ada yang berubah dari masa itu. Sebaliknya, yang terpenting adalah menapaki jalan yang terbentang menuju masa depan....


*****

huff... lagi-lagi note yang random... >-<

Tidak ada komentar: