Minggu, 27 Juli 2008

Hidup

Entah kenapa, beberapa waktu belakangan ini saya terus mendengar kabar duka cita mengenai orang-orang terkasih yang meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Jujur, tidak satupun dari mereka pernah saya kenal secara langsung. Bahkan, beberapa diantaranya baru saya sadari keberadaannya setelah berita tentang kepergiannya datang dengan tiba-tiba. Apakah dulu saya tidak peka dengan lingkungan saya, atau memang kematian datang lebih sering pada orang-orang di lingkungan sekitar saya? Entahlah.

Saya baru sadar, cepat atau lambat, kematian akan menjemput semua orang di dunia ini. Dan peluang untuk menyaksikannya dengan mata kepala sendiri secara langsung semakin besar seiring dengan berjalannya waktu. Mengingat profesi impian yang membuat saya harus bergelut dengan buku-buku tebal dan penuh dengan kata-kata ajaib ini akan berkaitan erat dengan hal itu. Saya jadi teringat cerita dari salah seorang senior di kampus tentang pengalamannya jaga di rumah sakit, dan untuk pertama kalinya menyaksikan secara langsung pasien yang dirawatnya tak lagi bernyawa. Ada rasa pedih di hatinya karena tidak dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pasien itu. Tapi, masih tersisa rasa syukur, karena ia telah berusaha membantu di waktu-waktu terakhir kehidupan si pasien, dengan terus berada di sampingnya, menemani dengan lantunan doa dan ayat-ayat suci. Ia melakukan hal itu, justru ketika tidak ada satupun keluarga yang menemani pasien menjelang ajalnya.

Ada pula pengalaman miris ketika pasien yang ditangani oleh seorang senior adalah orang terkasih dari salah satu temannya. Bayangkan bagaimana perasaannya ketika ia harus menghadapi kenyataan bahwa pasien -yang notabene merupakan keluarga tercinta temannya- ternyata meregang nyawa di depan kedua matanya. Bahkan usaha terbaik yang telah dilakukannya pun tak sanggup melawan kematian yang menjemput.

Sejak kecil, saya selalu merasa profesi impian saya itu hebat. Membuat orang yang sakit jadi sembuh, memberikan keceriaan bagi banyak orang. Kenyataannya, bagaimanapun, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, dan semuanya kembali lagi kepada putusan Tuhan Yang Maha Esa. Akan ada satu titik dimana kita merasa tak berdaya, dan hanya bisa berserah kepada-Nya. Bahkan, ketika sosok yang kita perjuangkan adalah orang terkasih bagi diri kita sendiri.

Karena itu, saya akan terus belajar. Minimal, kita harus mengerahkan yang terbaik yang kita miliki, agar penyesalan tidak akan datang berkelanjutan.
Semoga niat baik senantiasa berujung pada kebaikan...


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Tidak ada komentar: