Minggu, 27 Juli 2008

Tahu

Tahu. T-A-H-U. Tahukah anda kata "tahu" dalam tulisan ini merujuk pada makna "tahu" yang mana? ^_^

Dalam tulisan iseng kali ini, saya akan sedikit membahas tentang "tahu" yang merupakan makanan berbentuk kubus yang dapat diolah dengan berbagai cara: goreng, rebus, bacem, digerus sampai hancur, digejrot, dsb. Ya, "tahu" yang satu ini adalah salah anggota jajanan gorengan yang amat lumrah ditemui di berbagai tempat penjualan makanan, mulai dari abang-abang di deretan kaki lima hingga di restoran yang terbilang elit. Boleh dibilang, tahu ini adalah primadona rakyat, mulai dari kaum pecinta protein-nabati (baca: harga daging terlalu mahal untuk mereka) sampai pecinta kuliner berkantong tebal yang menyantap makanan olahan bercitarasa "tinggi".

Berbicara mengenai makanan selalu mengundang selera makan saya. Tidak terkecuali pada topik mengenai "derivat" kacang kedelai yang satu ini. Siapa sangka, keluarga kacang kedelai bisa menghasilkan berbagai variasi menu. Sebut saja tahu, tempe, dan oncom, trio kedelai yang popularitasnya di Indonesia mungkin menggeser posisi semua trio-trio ngetop lainnya. Saat harga daging semakin mahal dan marak isu penjualan daging basi atau kerbau, saat harga telur menggelinding naik dan alternatif penjualan telur-retak-atau-pecah mulai dilirik kaum ibu... si "tahu" ini tetap setia ditemui di warung-warung makan dengan harga bersahabat. Walau isu formalin dan kenaikan harga sempat menerpa, nyatanya ia tetap tak bergeming.

Tapi...

Sebuah tayangan di televisi membuat saya terenyuh. Digambarkannya kehidupan seorang ibu usia lanjut yang telah lama bergelut menjadi pembuat tahu dan oncom. Setiap hari, ia berusaha keras untuk mengolah adonan kedelai tanpa mesin (yah, nyatanya di era serba canggih seperti saat ini pun masih banyak orang-orang yang menggunakan tenaga manual karena berbagai keterbatasan). Dengan tubuh sekurus dan setua itu, salut ia tetap menjalankan rutinitas hariannya yang begitu melelahkan, dan selalu bangun pagi-pagi buta. Dengan sabar, setiap harinya ia membawa hasil olahannya - tahu dan oncom untuk dijajakan di pasar tradisional terbuka, dengan harga 200 rupiah per-potong (saya tidak terlalu ingat apa ini harga untuk tahu atau oncom, yang jelas keduanya tidak jauh berbeda). Berarti, harus berapa banyak yang terjual untuk menutupi biaya hidup sehari-hari? Tentunya ada hari-hari dimana dagangannya tidak habis terjual, dan dia harus menahan rasa lapar lebih lama karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan (baca: ingat, makanan pokok penduduk Indonesia = nasi).

Jika salah seorang teman saya sering mengungkapkan penghargaan kepada emping secara berlebihan karena proses pembuatannya yang menjadikan setiap bagiannya tidak terlepas dari tangan-tangan penumbuknya (dan dulu sering jadi bahan tertawaan), kini saya jadi sedikit lebih bisa memaklumi. Tahu, emping, dan makanan olahan lainnya memang makanan yang ringan di mulut. Tapi jelas, proses pengolahannya bisa jadi tidak seringan kelihatannya.

Jadi, mulailah dengan menghargai makanan yang ada di depanmu! ^_^


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Tidak ada komentar: