Minggu, 27 Juli 2008

Iri

"Tak jarang, rasa iri tak sekedar menghampiri. Ia menyelimuti, merasuki, dan menjalar ke relung hati. Menuai luka, menodai kebeningan sukma insani. Laksana simfoni yang mengalun getir di sela keheningan sunyi."

*****

Setiap orang pasti pernah dihinggapi perasaan iri dalam kalbunya. Ada saat dimana pepatah "rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput di halaman rumah sendiri" sejalan dengan pikiran kita ketika melihat apa yang dimiliki oleh orang lain. Suatu waktu, saya mendapati diri saya terperangkap dalam paradigma "ketidakmampuan". Melihat orang lain bersinar dalam karya, saya justru tidak kuasa menangkis kilaunya yang menusuk mata. Ketika orang lain tampil dengan potensinya yang luar biasa, saya hanya berdecak kagum. Dengan rasa iri diam-diam muncul di benak saya, bersama-sama dengan "sahabat karib"-nya, rasa rendah diri.

Sejak kecil, kita sering diajarkan bahwa rasa "iri" bukanlah hal yang baik untuk dipelihara. Tapi entah bagaimana, ia dapat dengan mudah datang menghantui, terutama saat orang-orang di sekeliling kita seakan berada di atas awan. Ia menjadi sesuatu yang dimaklumi, sesuatu yang manusiawi. Tidak ada batas pasti yang dapat ditentukan untuk sejauh mana ia dapat terus melekat, dan dimana ia harus lekas ditepis.

Dalam kondisi terombang-ambing dalam perasaan gamang, biasanya saya teringat sebuah kalimat pamungkas bagi sebagian orang: "Saat kau merasa menjadi yang paling lemah, lihatlah ke bawah; namun saat kau merasa menjadi yang terhebat, lihatlah ke atas."

Bukan tidak mungkin, ada hal-hal di diri kita yang juga menimbulkan rasa iri bagi orang lain. Saat kita merasa lebih "rendah" dari seseorang, bisa jadi seseorang yang lain memposisikan diri kita lebih "tinggi" dari dirinya. Karena itu, kita perlu bersyukur atas apa yang selama ini telah kita miliki. Walaupun demikian, kita perlu memandang ke "atas", agar kita tidak berjalan di tempat. Ia ada sebagai motivasi, memacu kita untuk berusaha menjadi lebih baik, bukan sekedar pajangan yang dipamerkan untuk menimbulkan kecemburuan.

Bicara memang mudah, dan menulis memang tidak sulit. Tapi mengapa susah sekali untuk dijalankan, ya?


... diunduh dari http://airaxa.blogs.friendster.com/my_blog/

Tidak ada komentar: